Di suatu petang saya dan host family makan malam bersama. Hari itu saya memasak pasta schotel atas permintaan si hostkid.
Awalnya saya mengumpulkan beberapa lembar resep yang saya ambil dari supermarket Albert Heijn. Hal itu atas saran hostdad agar saya punya variasi masakan tiap harinya. Bahkan dia sendiri yang mengajukan bantuan menerjemahkan resepnya karena hanya tersedia dalam bahasa Belanda. Baiklah, pikir saya. Sampai di rumah, saya menunjukkan beberapa resep itu pada hostkids and let them decide which one they want to have for the next day. Si J memilih pasta schotel. Resepnya berbahasa Belanda jadi malam harinya saya minta hostmom untuk mengartikan dan menunjukkan bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan.
Keesokan harinya, seperti biasa, setelah mengantar anak-anak ke sekolah saya pergi ke supermarket untuk membeli segala keperluan dapur, terutama bahan-bahan untuk makan malam. Bahan-bahan pasta schotel kini telah siap. Sore harinya, setelah menjemput anak-anak dari sekolah, saya mulai meracik bahan-bahan tersebut. Seperti janji hostdad yang ingin membantu menerjemahkan resep, bertanyalah saya padanya. Sayang sekali, dia terlihat sibuk sekali di depan layar komputer, skype dengan rekan kerjanya (Dia memang selalu begitu kalau di rumah, sepanjang hari di depan layar komputer membahas bisnisnya). Merasa tidak enak, saya urungkan niat untuk bertanya. Tapi bagaimana ini? Bahan-bahan sudah terbeli dan siap pakai, kalau tidak dimasak kan sia-sia. Terpaksa saya menggunakan google translate dengan hasil yang acak-acakan namun cukup membantu demi memahami sebuah resep makanan yang asing di Indonesia, asing di lidah, dan asing di masak oleh orang Indonesia.
Akhirnya pasta schotel hasil mengikuti resep dari google translate pun jadi. Perpaduan pasta, krim dan sosis terlihat nikmat sekali meski sebenarnya saya ragu mereka akan suka. Tak disangka-sangka, si J mengatakan kalau masakan saya enak sekali. Awwww... What a compliment! Ini pujian luar biasa. Thanks to J, jij bent lief.
Sehabis makan malam kami minum wine (tentu tanpa anak-anak). Saya kurang tahu jenisnya, yang penting minum saja hehe. Si hostdad menuang sedikit di gelas saya. Kami pun bersulang dan meneguknya. Tiba-tiba kepala saya terasa aneh, mata saya tidak bisa melihat dengan fokus. Rasanya seperti berputar.
"Kamu kenapa?" tanya Hostdad.
"Kepalaku pusing nih." sahut saya.
"Jelas saja, kamu minum wine kayak minum teh saja." jawabnya sambil melihat isi gelas saya yang sudah hampir kosong.
"Gini nih cara terbaik minum wine..." jelasnya sembari memperagakan. "Pertama, taruh hidung di pinggiran gelas dan hirup baunya demi mendapatkan rasa. Lalu, teguk sedikit demi sedikit." lanjutnya.
"Gini nih cara terbaik minum wine..." jelasnya sembari memperagakan. "Pertama, taruh hidung di pinggiran gelas dan hirup baunya demi mendapatkan rasa. Lalu, teguk sedikit demi sedikit." lanjutnya.
"Jangan langsung ditenggak begitu saja." si Hostmom menyahut.
"Ooo..gitu." ucap saya pasrah.
Credit:
1. www.huffingtonpost.com
Credit:
1. www.huffingtonpost.com