Beberapa hari setelah tiba di Belanda, saya menyatakan
keinginan pada hostfamily untuk mencari keluarga (agak jauh) di
Belanda, tepatnya di kota Apeldoorn. Syukurlah mereka sangat mendukung tindakan
saya dan malah membantu saya dalam mencari keluarga yang sama sekali belum
pernah saya temui hanya demi menjalin ikatan persaudaraan antara keluarga di
Indonesia dan keluarga di Belanda. Bisa dikatakan saya mencoba menjalin kembali
hubungan surat-menyurat yang dilakukan Kakek saya dan Opa di Belanda semasa
mereka masih hidup.
Hubungan keluarga ini berakar dari hubungan darah antara Mbah Putri (dari Bapak) dan Adiknya yang
menikah dengan pria keturunan Belanda, yang akhirnya mereka putuskan untuk
menapaki hidup di negeri kincir angin tersebut. Tahu apa? Persoalan silsilah
yang rumit ini justru baru saya ketahui setelah bertemu dengan keluarga di
Belanda haha.
Semasa Kakek masih hidup, beliau nampaknya aktif berkirim
dan bertukar surat dengan Opa di Belanda (menurut cerita si Bapak). Hal ini
dibuktikan dengan setumpukan foto keluarga Belanda yang tersimpan rapi di
lemari rumah. Selain itu, jajaran perangko bertuliskan Holland juga melekat rapi pada album perangko
yang kini masih tersimpan walau sedikit berdebu. Hingga suatu hari datanglah
sepucuk surat beralamat sebuah kota di Belanda. Surat itu tak bertuliskan
tangan dan berpenampilan sedikit lebih formal. Tak menguntungkan, isi surat
dituliskan dalam bahasa Belanda! Jelas kami tak mengerti. Setelah Ibu berlari
menuju Seminari, yang menurut penuturan orang ada seorang Pastor disana yang
bisa mengerti bahasa Belanda, barulah kami mengetahui isi surat itu. Surat
tersebut mengabarkan berita duka, Oma di Belanda meninggal. Disitu pula
tertulis lengkap jajaran silsilah keluarga mereka. Saya pun berinisiatif membalas
surat tersebut, menyatakan rasa bela sungkawa dan tak lupa mengabarkan bahwa
Kakek telah lebih dulu meninggal. Sejak saat itulah perkenalan saya dengan
keluarga disana dimulai lewat sepucuk surat. Sejak saat itu pula terlintas
pikiran untuk bisa terbang ke Belanda dan menemui mereka. Terlebih demi
mewujudkan impian terbesar dalam hidup saya: pergi ke luar negeri! Semuanya
menjadi nyata di tahun 2015. Sebelum berangkat ke Belanda, saya telah
lebih dulu menyiapkan surat dari Opa lengkap dengan alamatnya. Ini sangat
penting sekali karena tak ada apapun yang saya punyai demi menemukan mereka
kecuali barisan alamat itu.
Kurang lebih dua minggu di Belanda, saya mencoba mengirim
surat pada mereka. Saya tuliskan bahwa saat ini saya ada di Belanda dan ingin
sekali bisa menemui mereka. Tak lupa, saya tuliskan pula nomor HP dengan maksud balasan dari mereka akan lebih mudah dan lebih cepat diterima. Surat itu saya masukkan ke dalam amplop persegi
yang tergeletak di sebuah rak di pojok kamar. Sebenarnya itu bukan amplop pada
lazimnya ketika berkirim surat, tetapi amplop pembungkus kartu ucapan. Yah,
cuma itu yang ada dan saya tak tahu dimana membeli amplop. Sepulang mengantar
anak-anak ke sekolah, seperti biasa saya mampir ke Albert Heijn untuk berbelanja. Namun hari itu, saya
tak lupa membawa surat untuk dikirim. Selesai dengan kebutuhan belanja, saya
menuju counter pengiriman surat. Disitu surat lantas ditimbang dan membayar
sekitar 0.80 Euro (kalau tidak salah). Lalu dimasukkan pada kotak surat berwarna oranye di pojok dekat pintu masuk. Setiap hari saya menilik kotak pos depan rumah, tapi tak satu pun surat ditujukan pada saya. Hingga suatu hari saya begitu kecewa dan sedih karena surat yang saya kirim justru kembali lagi pada saya.
to be continued...