Friday, April 8, 2016

Parijs!


Ini lagu berbahasa Belanda pertama yang saya dengar. Dan langsung jatuh cinta! Awww... Awal cerita saya mendengar lagu ini ketika mengantar hostkid les gitar.  Jumat sore saya mengantar A menuju tempat les gitar yang berjarak 15 menit jauhnya. Seperti biasa, kami bersepeda dan saya menggendong gitarnya di punggung. Studio tempat A berlatih hanya cukup untuk berdua sebenarnya, tapi dicukup-cukupin buat bertiga karena tidak mungkin saya balik ke rumah mengingat lesnya hanya setengah jam. Mau tahu berapa biaya les per pertemuan selama hanya setengah jam itu? 17 Euro! Ulala sekali, bukan? Pelatihnya seorang lelaki berambut pirang sebahu. Saya lupa namanya, tapi gak lupa gantengnya hehe. Saat les lah saya mendengar lagu itu dan enak banget musiknya. Sepulang dari les si A selalu nyanyiin lagu itu sepanjang jalan, mau gak mau saya kebawa situasi buat ikut nyanyi dong meski masih suka keserimpet lidahnya. 

Lagu itu akhirnya jadi lagu kebangsaan semasa di Belanda bahkan sampai sekarang pun masih. Tiap di rumah pasti deh nyetel lagu itu lewat spotify sambil nyanyi-nyanyi. Oh ya, ini lagu judulnya Parijs (Paris) dinyanyikan oleh seorang pria Suriname. Saya gak tahu cerita tepatnya, tapi lagu ini mengisahkan seseorang yang menemukan wanita idamannya di Paris. Romantis, kan? Aaaakkk, jadi keinget kan kalo saya belum sempat ke Paris huhu. Coba deh liat videonya dan dengar musiknya. Meski gak ngerti ngomong apa tapi dijamin seru dan kerasa banget romantisnya kota Paris.


Geniet ervan!

Thursday, April 7, 2016

Kisah Pencarian Keluarga di Belanda (1)


Beberapa hari setelah tiba di Belanda, saya menyatakan keinginan pada hostfamily untuk mencari keluarga (agak jauh) di Belanda, tepatnya di kota Apeldoorn. Syukurlah mereka sangat mendukung tindakan saya dan malah membantu saya dalam mencari keluarga yang sama sekali belum pernah saya temui hanya demi menjalin ikatan persaudaraan antara keluarga di Indonesia dan keluarga di Belanda. Bisa dikatakan saya mencoba menjalin kembali hubungan surat-menyurat yang dilakukan Kakek saya dan Opa di Belanda semasa mereka masih hidup.

Hubungan keluarga ini berakar dari hubungan darah antara Mbah Putri (dari Bapak) dan Adiknya yang menikah dengan pria keturunan Belanda, yang akhirnya mereka putuskan untuk menapaki hidup di negeri kincir angin tersebut. Tahu apa? Persoalan silsilah yang rumit ini justru baru saya ketahui setelah bertemu dengan keluarga di Belanda haha. 

Semasa Kakek masih hidup, beliau nampaknya aktif berkirim dan bertukar surat dengan Opa di Belanda (menurut cerita si Bapak). Hal ini dibuktikan dengan setumpukan foto keluarga Belanda yang tersimpan rapi di lemari rumah. Selain itu, jajaran perangko bertuliskan Holland juga melekat rapi pada album perangko yang kini masih tersimpan walau sedikit berdebu. Hingga suatu hari datanglah sepucuk surat beralamat sebuah kota di Belanda. Surat itu tak bertuliskan tangan dan berpenampilan sedikit lebih formal. Tak menguntungkan, isi surat dituliskan dalam bahasa Belanda! Jelas kami tak mengerti. Setelah Ibu berlari menuju Seminari, yang menurut penuturan orang ada seorang Pastor disana yang bisa mengerti bahasa Belanda, barulah kami mengetahui isi surat itu. Surat tersebut mengabarkan berita duka, Oma di Belanda meninggal. Disitu pula tertulis lengkap jajaran silsilah keluarga mereka. Saya pun berinisiatif membalas surat tersebut, menyatakan rasa bela sungkawa dan tak lupa mengabarkan bahwa Kakek telah lebih dulu meninggal. Sejak saat itulah perkenalan saya dengan keluarga disana dimulai lewat sepucuk surat. Sejak saat itu pula terlintas pikiran untuk bisa terbang ke Belanda dan menemui mereka. Terlebih demi mewujudkan impian terbesar dalam hidup saya: pergi ke luar negeri! Semuanya menjadi nyata di tahun 2015. Sebelum berangkat ke Belanda, saya telah lebih dulu menyiapkan surat dari Opa lengkap dengan alamatnya. Ini sangat penting sekali karena tak ada apapun yang saya punyai demi menemukan mereka kecuali barisan alamat itu. 

Kurang lebih dua minggu di Belanda, saya mencoba mengirim surat pada mereka. Saya tuliskan bahwa saat ini saya ada di Belanda dan ingin sekali bisa menemui mereka. Tak lupa, saya tuliskan pula nomor HP dengan maksud balasan dari mereka akan lebih mudah dan lebih cepat diterima. Surat itu saya masukkan ke dalam amplop persegi yang tergeletak di sebuah rak di pojok kamar. Sebenarnya itu bukan amplop pada lazimnya ketika berkirim surat, tetapi amplop pembungkus kartu ucapan. Yah, cuma itu yang ada dan saya tak tahu dimana membeli amplop. Sepulang mengantar anak-anak ke sekolah, seperti biasa saya mampir ke Albert Heijn untuk berbelanja. Namun hari itu, saya tak lupa membawa surat untuk dikirim. Selesai dengan kebutuhan belanja, saya menuju counter pengiriman surat. Disitu surat lantas ditimbang dan membayar sekitar 0.80 Euro (kalau tidak salah). Lalu dimasukkan pada kotak surat berwarna oranye di pojok dekat pintu masuk. Setiap hari saya menilik kotak pos depan rumah, tapi tak satu pun surat ditujukan pada saya. Hingga suatu hari saya begitu kecewa dan sedih karena surat yang saya kirim justru kembali lagi pada saya.

to be continued...

Saturday, April 2, 2016

Qatar Airways: Terjangkit Sesal Menolak Kelas Bisnis Qatar Airways (3)


Tiga jam sebelum keberangkatan, saya telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Terminal 2 untuk penerbangan internasional. Saya langsung menyodorkan tiket pada petugas untuk melakukan check in. Mengingat ini bandara internasional, terlebih di area keberangkatan dan kedatangan internasional, tak heran ada begitu banyak orang asing berlalu lalang. 

Meski saat itu counter Qatar Airways belum buka, saya tetap mengantri bersama beberapa orang lainnya. Setelah menunggu beberapa saat, antrian sudah mulai bergerak. Saya lihat satu atau dua orang digeser ke meja sebelah karena mungkin ada beberapa kesalahan teknis yang harus diselesaikan. Hal ini membuat saya sedikit khawatir. Benar saja, giliran saya maju, setelah petugas mengecek, saya juga ikut digeser ke meja sebelah. Kenapa ini? Padahal semuanya sudah lengkap. 


Seorang petugas wanita lantas berbicara dengan saya bahwa ada seorang penumpang yang harus buru-buru pergi namun sudah tidak mendapat seat. Dia lantas ingin mengambil seat saya dalam perjalanan Jakarta-Doha. Sebagai kompensasi mereka akan meng-upgrade kelas ekonomi saya ke kelas bisnis dan imbalan uang senilai $250, namun jadwal keberangkatan saya akan berubah menjadi pukul 12 malam. Mereka juga menjelaskan bahwa penerbangan tersebut tidak akan mengganggu jadwal penerbangan saya berikutnya, yaitu Doha-Amsterdam. Pikiran saya benar-benar kalut saat itu. Ini pertama kalinya saya naik pesawat overseas dan tiba-tiba ada penawaran upgrade kelas dan imbalan sejumlah uang yang tidak sedikit. Ini beneran atau bohongan ya? Dalam pikiran yang buntu, mereka terus berusaha membujuk saya. Bahkan seandainya saya tidak mendapat pesawat untuk Doha-Amsterdam, mereka bisa menjamin akan mencarikan pesawat lain, yaitu Singapore Airlines. Saya yang masih sangat awam soal pesawat waktu itu tidak tahu kalau kedua pesawat itu merupakan pesawat terbaik semua. Yang mendominasi pikiran saya saat itu: Bagimana kalau bohong? Terus gak bisa sampai Amsterdam? Terus gak punya duit buat pulang? Seandainya saya tahu kalau Qatar Airways pesawat elit, tak akan pernah saya sia-siakan kesempatan seperti itu. Kapan lagi coba?


Akhirnya saya putuskan untuk berbicara dengan keluarga dulu. Saya keluar dan menemui mereka. Saya ceritakan kasus ini se detail mungkin. Si pacar sangat mendukung, toh tidak ada ruginya, malah justru dapat imbalan yang tidak main-main bagi orang seperti saya. Tapi di lain pihak, Om saya berkata lain. Keraguan dan ketakutan saya mengambil kesempatan justru mengarahkan saya menuju sesal. Saya katakan tidak akan menukar seat meski petugas Qatar telah membujuk saya berulang kali. 


Kasus ini lantas saya ceritakan pada beberapa teman di Belanda. Pernyataan mereka malah bikin saya makin menyesal. Bahkan, seorang teman membicarakan ini pada hostmom-nya. Katanya dia sangat menyayangkan keputusan saya. Seandainya dia jadi saya, dia akan ambil kelas bisnis itu dan menggunakan uangnya untuk shopping. Begitu jelas teman saya. Saya cuma bisa senyam-senyum kesal tapi benar juga yang dia bilang. Hostdad saya sendiri pun berulang kali membahas persoalan ini ketika kami mengobrol. 


Katanya, "Sayang banget kelas bisnisnya dilepas. Kamu beruntung loh bisa naik Qatar, aku aja malah belum pernah."


Arrggghhh, nyebelin!



Credit:1. https://glamshelf.com/33-outstanding-colors-and-details-of-natural-landscapes/2/