Tiga jam sebelum keberangkatan, saya telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Terminal 2 untuk penerbangan internasional. Saya langsung menyodorkan tiket pada petugas untuk melakukan check in. Mengingat ini bandara internasional, terlebih di area keberangkatan dan kedatangan internasional, tak heran ada begitu banyak orang asing berlalu lalang.
Meski saat itu counter Qatar Airways belum buka, saya tetap mengantri bersama beberapa orang lainnya. Setelah menunggu beberapa saat, antrian sudah mulai bergerak. Saya lihat satu atau dua orang digeser ke meja sebelah karena mungkin ada beberapa kesalahan teknis yang harus diselesaikan. Hal ini membuat saya sedikit khawatir. Benar saja, giliran saya maju, setelah petugas mengecek, saya juga ikut digeser ke meja sebelah. Kenapa ini? Padahal semuanya sudah lengkap.
Seorang petugas wanita lantas berbicara dengan saya bahwa ada seorang penumpang yang harus buru-buru pergi namun sudah tidak mendapat seat. Dia lantas ingin mengambil seat saya dalam perjalanan Jakarta-Doha. Sebagai kompensasi mereka akan meng-upgrade kelas ekonomi saya ke kelas bisnis dan imbalan uang senilai $250, namun jadwal keberangkatan saya akan berubah menjadi pukul 12 malam. Mereka juga menjelaskan bahwa penerbangan tersebut tidak akan mengganggu jadwal penerbangan saya berikutnya, yaitu Doha-Amsterdam. Pikiran saya benar-benar kalut saat itu. Ini pertama kalinya saya naik pesawat overseas dan tiba-tiba ada penawaran upgrade kelas dan imbalan sejumlah uang yang tidak sedikit. Ini beneran atau bohongan ya? Dalam pikiran yang buntu, mereka terus berusaha membujuk saya. Bahkan seandainya saya tidak mendapat pesawat untuk Doha-Amsterdam, mereka bisa menjamin akan mencarikan pesawat lain, yaitu Singapore Airlines. Saya yang masih sangat awam soal pesawat waktu itu tidak tahu kalau kedua pesawat itu merupakan pesawat terbaik semua. Yang mendominasi pikiran saya saat itu: Bagimana kalau bohong? Terus gak bisa sampai Amsterdam? Terus gak punya duit buat pulang? Seandainya saya tahu kalau Qatar Airways pesawat elit, tak akan pernah saya sia-siakan kesempatan seperti itu. Kapan lagi coba?
Akhirnya saya putuskan untuk berbicara dengan keluarga dulu. Saya keluar dan menemui mereka. Saya ceritakan kasus ini se detail mungkin. Si pacar sangat mendukung, toh tidak ada ruginya, malah justru dapat imbalan yang tidak main-main bagi orang seperti saya. Tapi di lain pihak, Om saya berkata lain. Keraguan dan ketakutan saya mengambil kesempatan justru mengarahkan saya menuju sesal. Saya katakan tidak akan menukar seat meski petugas Qatar telah membujuk saya berulang kali.
Kasus ini lantas saya ceritakan pada beberapa teman di Belanda. Pernyataan mereka malah bikin saya makin menyesal. Bahkan, seorang teman membicarakan ini pada hostmom-nya. Katanya dia sangat menyayangkan keputusan saya. Seandainya dia jadi saya, dia akan ambil kelas bisnis itu dan menggunakan uangnya untuk shopping. Begitu jelas teman saya. Saya cuma bisa senyam-senyum kesal tapi benar juga yang dia bilang. Hostdad saya sendiri pun berulang kali membahas persoalan ini ketika kami mengobrol.
Katanya, "Sayang banget kelas bisnisnya dilepas. Kamu beruntung loh bisa naik Qatar, aku aja malah belum pernah."
Arrggghhh, nyebelin!
No comments :
Post a Comment