Tuesday, July 30, 2019

Kok cincin nikahnya hitam?


Raut keheranan terlihat di wajah beberapa orang yang tahu bahwa cincin nikah kami berwarna hitam. Yes! Kalian gak salah baca kok. Jarang sekali ya ada cincin nikah berwarna hitam. Paling umum ya warna kuning atau silver. Beberapa orang segenerasi kami mungkin tidak akan begitu memicingkan mata. Tapi bagi orang tua, jelas itu aneh sekali. Sudah begitu, dibeli secara online pula. Keanehannya semakin dobel hahaha.

"Bapak lagi ngerti ana cincin kelir ireng," ucap Bapak heran, yang artinya beliau baru tahu kalo ada cincin nikah warna hitam. Ya wajar sih, orang tua ya tahunya cincin emas kuning bulat.

Saya cuma mesam-mesem. Tapi ya lalu udah, titik, tidak ada komentar lanjutan. Kalo ibu malah cenderung diam, tidak berkomentar sama sekali. Terserah anaknya. Beda lagi sama ibu mertua.

"Kok cincinnya hitam? Filosofinya apa?" tanya beliau.

Saya sih diam aja, biar Masthom yang menjawab karena dia memang pintar kalau menanggapi pertanyaan yang belum punya jawaban pasti, antara ngawur dan mengandalkan ilmu cocoklogi hahaha.

Karena keanehan cincin hitam yang mungkin tidak ada dalam sejarah turun-temurun ibu mertua, beliau sampai DUA KALI memberikan tawaran untuk membelikan cincin bulat emas warna kuning untuk kami. Tapi kami tolak, dengan halus tentunya.

Alasan cincin berwarna hitam

Kenapa sih kok ngotot pengen cincin hitam? Sederhana sih. Waktu itu saya sedang mencari-cari berbagai alternatif cincin nikah. Mulai dari menyambangi Toko Emas Semar yang ada di mana-mana sampai men-scroll berbagai toko cincin di Instagram. Tapi tak satupun menarik perhatian. Modelnya gitu-gitu aja. Nothing special. Ya biasa tipikal cincin berwarna kuning atau putih, dengan bentuk standar, mirip dengan toko-toko lainnya. Sedangkan saya pengen sesuatu yang berbeda, personalized, magic, dan sesuai karakter saya. Hingga akhirnya ketemulah salah satu pembuat cincin kustom di Jogja. Semua cincinnya handmade dan dibuat sesuai permintaan.

“Ini yang aku cari, beda dan unik,” batin saya seketika.

Alasan kedua, saya punya makna sendiri terhadap cincin pernikahan. Kata bapak mertua sih cincin nikah ya bulet kuning polos tanpa mata. Tapi ya lalu apa maknanya saya tidak paham. Ada orang yang mungkin bisa menerima dan melakukan 100% apa yang selalu dilakukan generasi lampau, tapi saya tidak. Rasanya aneh saja, kami yang menikah tapi tidak tahu maknanya. Sedangkan saya sudah punya makna sendiri. Bagi saya, cincin nikah harus diupayakan sendiri sama si calon suami sebagai bukti keseriusannya. Apa pun caranya, berapa pun harganya. Tapi tetep maunya emas dong haha (Lah gimana!). Kalo cincin nikah dibelikan orang tua demi memenuhi kriteria yang mereka inginkan, hilang sudah maknanya kan. Yang bakal menjalani kehidupan rumah tangga kan kita sendiri, jadi menurut saya sih sebaiknya kita pegang teguh makna, filofosi, value, atau apa pun yang kita yakini sebagai penuntun kita sendiri. Kalo value-mu sama dengan value orang tua nggak salah juga kok, berarti kan tinggal jalani saja. Kebetulan saja saya punya pemaknaan yang berbeda.

Rasanya beda loh ketika si calon suami bisa beliin kita cincin dengan usahanya sendiri. Bahagia dan bangga banget! Kerasa banget loh puasnya itu. Kok malah saya yang puas? Iya, soalnya saya yang nyimpenin duitnya biar bisa kebeli itu cincin haha. Di samping itu, saya juga pengen Masthom has pride as a man by doing it. Tidak hanya terbatas cincin, seserahan pun saya maunya semua pake duit dia sendiri, hasil kerja keras sendiri, walau mungkin tidak mewah, tapi rasanya memuaskan dan membanggakan hehe. Nggak ngerti kenapa ya saya suka kalo apa-apa bisa dibeli pake duit sendiri hehe.

Material dan harga

Sebelum membeli cincin, apalagi secara online, apalagi harganya nggak murah, pastikan dulu kredibilitas si toko. Periksa dengan teliti dan cermat review dari orang lain. Lihat komentar-komentarnya di IG. Bisa cek juga di website wedding yang mengulas vendor-vendor pernikahan, salah satunya yang terkenal Bridestory. Pokoknya lakukan seteliti dan cek sedetail mungkin. Baru setelah itu yakinkan diri sendiri. Saya sendiri beli di Rockologist. Silakan cek sendiri ya akun IG-nya.

Rockologist ini basisnya di Jogja, tapi tidak ada toko offline, semua dilakukan secara online. Kebetulan saya berada di Jogja, jadi bisa arrange waktu buat ketemu langsung. Selain unik, mereka lebih menonjolkan diamondnya. Pada dasarnya mereka “menjual” si diamond ini (asli & certified ya). Cantik banget, ada biru, kuning, putih, hijau, dan hitam. Ukurannya juga berbeda-beda, dan harga mengikuti ukuran. Karena fokus ke diamond, untuk materialnya mereka menggunakan logam dasar tidak berbayar seperti perak, tembaga, dan kuningan. Tenang aja, mereka juga menyediakan logam seperti emas (kuning atau putih) dan palladium kok, tapi berbayar ya hehe.

Saat lihat karya seni cincin di akun IG-nya, saya langsung jatuh cinta sama cincin berwarna hitam dipadukan diamond berwarna biru. So magical. Tinggal kasih tahu aja model yang kita inginkan dan mereka akan bikin sesuai permintaan. Untuk logamnya, kedua cincin saya upgrade ke emas kuning, lalu minta dilapisi rhodium warna hitam. Lapisan rhodium ini akan memudar seiring waktu. Tapi kita bisa minta replating gratis satu kali. Asik kan?

Lalu berapa harganya? Nah ini yang kalian tunggu-tunggu. Berikut rinciannya:

Artisan work : 1.100.000
Certified Natural Diamond : 1.300.000                
18K Yellow Gold (7g) : 3.325.000
Discount :   (200.000)
Total : 5.525.000

Selamat berburu cincin bagi kalian calon pengantin. Semoga info ini bermanfaat ya :)

Saturday, July 14, 2018

2 Malam di Singapura, Ngapain Aja?


Sebenarnya saya nulis ini sambil mikir keras karena perjalanannya sendiri sudah hampir setahun yang lalu. Beberapa detail mungkin kurang akurat atau absen dari postingan ini. Tapi, let me recall the memories for you. Kenapa memilih Singapura sebagai destinasi luar negeri pertama? Sederhana sih, karena tiket dari Jogja paling murah dibanding ke negara tetangga lainnya. Walaupun kata orang Singapura negara mahal, tapi bisa disiasati kok. 

PERSIAPAN

1. Paspor
Hal penting pertama yang harus diperhatikan adalah paspor karena ini merupakan identitas wajib kita yang berlaku secara internasional. Berhubung saya sudah punya, jadi tinggal disiapkan saja. Sementara pasangan saya harus ke Imigrasi untuk bikin paspor. Dia pilih paspor 24 halaman seharga 155rb. Prosesnya cukup lancar. Antri mulai dari pukul 6 pagi dan di sana sudah banyak orang. Enaknya, saat itu disediain kursi dan tratak jadi gak capek dan gak kepanasan. Jaman saya masih berdiri dong haha miris. 

Baca: Paspor 24 Halaman, Benarkah Paspor Khusus TKI?
 

2. Tiket Pesawat
Keputusan jalan-jalan ini agak didasari sifat impulsif karena saat itu ada promo free seat Air Asia, sekitar awal bulan Maret dan kami berangkat di bulan September. FYI, Air Asia selalu mengadakan promo ini 2x setiap tahunnya, yaitu sekitar Maret/April dan September/Oktober. Plus, saat itu ada proyek masuk yang kami kerjakan yang sekiranya akan cukup untuk membiayai perjalanan ini. Jadi saat itu saya berburu tiket promo dan mendapatkan harga 399rb/orang untuk berangkat saja. Sebenarnya lebih murah seandainya beli round-trip, tapi karena baru ada uang segitu dan khawatir kehabisan tiket kalo gak segera dibeli, kami putuskan untuk membeli tiket keberangkatan saja. Untuk return ticket-nya kami beli lewat Traveloka, sekitar 800-an/orang hiks sedih. Oh ya, kami juga memesan in-flight meal untuk sarapan. Harganya sekitar 30-35rb/meal. Perlu diperhatikan, Air Asia merupakan low-cost airline jadi hanya memberikan jatah hand-carry seberat maksimal 7kg. Kalau lebih dari itu, berarti harus beli bagasi dan itu mahal. Namanya juga jalan-jalan hore, jadi harus ngirit dengan memanfaatkan jatah 7kg. Lagipula hanya 2 malam, sudah sangat cukup bagi kami.

2. Penginapan
Karena pergi bersama pasangan, saya memutuskan untuk memesan hostel mixed-dorm. Satu kamar isi 8 ranjang susun campur cowok-cewek. Selain agar bisa tidur di satu kamar, mixed-dorm juga lebih murah dibanding kamar yang sesama jenis haha. Pemesanan kamar ini sempat ada kendala, awalnya kami memesan di Sleepy Kiwi Bugis. Saya berinisiatif mengirimkan email ke pihak hostelnya langsung untuk memastikan bahwa pesanan tercatat. Sayang sekali, Sleepy Kiwi ternyata sedang dalam proses re-opening dan mereka menawarkan kamar di hostel lain. Setelah diperiksa dan tidak cocok, kami memutuskan untuk membatalkan pesanan dan mencari kamar lain. Pembatalan gratis ya, karena tertulis "free cancellation" dan syukurnya refund dengan pihak Traveloka juga lancar. Akhirnya ketemu Backpackers@SG dengan harga 725rb/2 orang/2 malam sudah termasuk asuransi. Lagi-lagi saya mengirimkan email ke pihak hostel secara langsung demi memastikan segala sesuatunya beres. Mereka membalas telah menerima pesanan saya via Traveloka, serta memberikan beberapa rincian standar bagi para pelancong.

3. Uang Saku
Ini juga gak kalah penting. Uang saku ini terkumpul dari uang proyek yang kami kerjakan. Saya memutuskan untuk menukarkan uang setiap bulan di Mulia Money Changer yang terletak di hotel Inna Garuda. Kenapa harus banget tiap bulan? 1) Kalo gak strict kayak gitu uang bisa saja lenyap entah kemana, 2) Keputusan tersebut ternyata tepat banget karena kursnya naik terus dari bulan ke bulan, yaitu di angka 9500-9700 dan kami masing-masing membawa SGD300.

4. Aktivitas Berbayar
Kami membeli voucher Universal Studio Singapore--semacam Dufan cuma lebih keren--seharga 550rb/orang. Voucher juga dibeli via Traveloka, tinggal dicetak dan nanti di-scan di pintu masuk.

HARI PERTAMA

Setiba di bandara Changi, hal pertama yang kami lakukan adalah mencari toilet. Toiletnya nyaman, bersih, dan gak bau. Pada tembok jalur masuk toilet terdapat
layar kecil yang menampilkan survei kepuasan pengunjung. Kebetulan pula di samping toilet ada tap water, kami minum di situ sekalian mengisi botol minum yang sudah dibawa dari Indonesia. Pokoknya wajib bawa botol minum ya. Percayalah, di negara maju kamu bakal banyak jalan dan harga air mineral mahal bingit hiks. Selanjutnya, kami berjalan menuju imigrasi. Bagian ini memang selalu bikin deg-degan tapi syukurnya semua berjalan lancar.

Salah satu fasilitas bandara Changi yang memudahkan pelancong adalah SkyTrain gratis yang menghubungkan antar terminal. Saat itu kami harus naik MRT di terminal lain untuk menuju hostel. Jadi terlebih dahulu kami naik SkyTrain menuju terminal lain. Sesampainya, tinggal ikuti jalur saja untuk keluar. Nah, di lorong MRT terdapat loket pembelian kartu ez-link seharga SGD12. Namun hanya SGD7 yang jadi saldo, sisanya biaya kartu. Di sisi lain lorong terdapat mesin top-up. Di situ kami menambahkan SGD10. Caranya cukup mudah, tinggal pilih nominal, lalu masukkan uang kertas ke mesin. Dari total saldo SGD17 itu kami masih memiliki sisa saat kepulangan. Kalian gak perlu khawatir karena sisanya bisa dicairkan lagi di tempat yang sama. Lumayan kan hehe.

Setelah dapat ez-link, kami naik MRT menuju hostel. Oh ya, jangan lupa untuk selalu menge-tap kartu di gate saat mau naik dan setelah turun ya. Jadi, selalu check-in dan check-out. Setibanya di hostel, kami langsung check-in, naruh tas di kamar, istirahat sejenak, lalu langsung jalan-jalan. 

Ruas jalan yang bersih dan hijau
Singapura itu panasnya kayak Jakarta, jadi kenakan pakaian yang nyaman ya. Hari pertama rencananya kami akan mengunjungi Merlion Park dan Garden by the Bay di malam hari. Sayangnya, kami nyasar jauh banget. Arah jalan kami berlawanan dengan Merlion Park. Alhasil, hari itu lelah sekali, kepanasan dan kaki gempor. Di sisa tenaga, kami berhasil menemukan Merlion Park, namun kunjungan ke Garden by the Bay terpaksa batal hiks. Sebenarnya sudah sampai sana, hanya saja kami memilih pulang dan makan malam karena kaki sudah tidak kuat untuk diajak jalan lagi. Tiba di hostel, kami langsung mandi dan tidur.

HARI KEDUA

Hari ini kami khususkan untuk main di USS. Kami berangkat naik MRT menuju Vivo City, dari sana ada 3 alternatif menuju Pulau Sentosa: 1) Jalan kaki nyebrang jembatan. Ini opsi paling murah karena gak perlu bayar. Kita pun gak full jalan kok karena ada travelator/eskalator. 2) Naik MRT dengan membayar SGD4 kalo gak salah. 3) Melintas lautan dengan kereta gantung. Sekali jalan sekitar SGD20-30. Kami memilih jalan kaki tapi kemudian menyesal. Mumpung di Singapura loh, ngapain coba gak naik kereta gantung sekalian. Kapan lagi ya kan? Hiks.

Salah satu sudut USS
Di USS banyak sekali wahana. Seharian pun gak bakal kelar karena rame banget. Sampai sana jangan lupa ambil peta dan jadwal parade. Dengan begitu kalian bisa menentukan apa saja yang ingin dinaiki atau dilihat tanpa menghabiskan banyak waktu mencari-cari. Nah, wahana andalan beberapa di antaranya: 1) Transformer the Ride 3D, kita diajak naik semacam kereta dengan visualisasi 3D beuh keren banget lah pokoknya; 2) Revenge of the Mummy, sayang banget ini pas under construction jadi gak bisa nyoba; 3) Battlestar Galactica, ini roaller coaster gitu. Ada dua jalur, satu warna merah kita posisi di atas, dan satunya lagi warna abu-abu kita posisi di bawah. Jalurnya pun lebih panjang dari yang di Dufan. Tapi yang ini saya gak berani nyoba haha. Jadi cuma nungguin di bawah sambil kepanasan, lama pula haha. 4) Jurassic Park Rapid Adventure, semacam arung jeram gitu. Wahana inipun kita gak kebagian buat nyoba. Belum puas banget main di sana karena masih banyak yang belum dicoba. USS tutup jam 6, tapi jam 5 mereka sudah mulai menutup antrian wahananya. 

Sepulang dari sana kami mampir Bugis dulu buat beli jajanan, lalu langsung makan malam dan balik ke hostel.

HARI KETIGA

Gak banyak yang bisa diceritain di hari ketiga ini karena saatnya kami pulang. Penerbangan sekitar pukul 11, tapi dari pukul 6 kami udah check-out. Awalnya sih mau jalan-jalan di bandaranya yang katanya the best airport in the world kan, tapi apa daya kaki sakit semua dan udah gak kuat jalan lagi. Eh, beruntungnya nemu alat pijat yang tersedia di beberapa titik. Pijatlah di situ sampai puas haha.

Sarapan di bandara sebelum balik ke Indonesia
Intinya, main di Singapura itu seru, negara maju dengan dengan segala kemodernannya dan ketertibannya yang jarang bisa dinikmati di Indonesia. Tapi di sisi lain, saya gak betah panasnya, dan mahal tentunya.

Semoga bermanfaat ya!

Thursday, October 20, 2016

Udah Gede Naik Bakfiets


Sepeda sudah merupakan hal yang lumrah di Belanda. Bahkan tercatat jumlah sepeda lebih banyak dari jumlah penduduknya. Sebagian warga belanda mengendarai sepeda untuk bepergian. Jika kalian berkunjung kesana, akan sering menemui jajaran sepeda yang tak terhitung jumlahnya. 

Nah, saat itu saya kabari Flo kalau saya berniat menginap di tempatnya di Utrecth dan minta dijemput di stasiun Utrecth Centraal. Saya hendak kesana Sabtu sore sehabis menemui saudara di Apeldoorn. Ternyata di hari itu dia musti babysit di rumah dan gak bisa pergi kemana-mana.


Namun dia bisa menjemput kalo saya turun di stasiun Utrecth Terwijde. Ok, kita sepakat. Sepulang dari Apeldoorn, saya menuju Utrecth dengan jarak tempuh sekitar 1,5-2 jam. Turun di Utrecth Centraal lanjut ke Utrecth Terwijde. Saat itu udah sore sekitar pukul 4. Saya kabari Flo kalau udah sampai. Tapi tak ada jawaban sama sekali (yang belakangan saya ketahui HPnya diumpetin para krucilnya, huft). Pulsa habis dan baterai sekarat. Duh! Saya beranikan diri meminjam HP orang asing di sebelah saya. Masih tak ada jawaban. Baru 1 jam kemudian Flo datang mengendarai bakfiets berisi 2 krucil.


"Ayo kamu naik (bakfiets) aja," ujar Flo.
"Eh?" antara bingung dan aneh. Masak udah gede naik bakfiets, bareng 2 krucil pula. Kalo diliatin orang kan malu.
"Udah gak papa, muat sampe 100 kg kok. Tenang aja" kata Flo.
"Emang kamu kuat Flo ngangkut 3 orang?" kataku ragu.

"Kan ini sepeda elektrik." dia meyakinkan. Jadi sepeda elektrik itu memberi tambahan dorongan tenaga saat pengendaranya mengayuh. Jadi lebih ringan dan gak susah payah mengayuh.


Jadilah saya naik di bak bareng 2 krucil keturunan Jerman-India. Naik bakfiets itu enak ternyata, silir-silir dingin gitu lah haha. Belanda merupakan negara maju, jadi mereka sangat sadar keamanan. Disetiap bakfiets selalu ada sabuk pengaman yang dipakai para krucil. Selain itu, tersedia pula tudung bening yang melindungi para krucil dari hujan atau salju.


Sebelum pulang ke rumah kami mampir dulu di cafe jajan coklat dan es krim hehe. Suasana dan tempatnya nyaman banget. Mana waktu itu pas musim gugur, duduk di luar di bawah pohon dengan dedaunan yang menguning. Dapet banget suasananya! Ada playground juga di belakang. Jadi kami nongkrong sambil liatin krucil mainan. 

Selain sepeda, Belanda juga memenuhi kebutuhan para fietsen (pesepeda) yang membawa toddler. Maka terciptalah bakfietsBakfiets merupakan salah satu alat transportasi khas Belanda yang menggabungkan sepeda dan bak. Dengan begitu, para pesepeda dapat bepergian membawa balita dengan nyaman dan aman. Bak ini secara umum memang ditujukan untuk balita. Pernah naik bakfiets? Saya pernah! Haha...

Weekend adalah hari BEBAS. Biasanya saya habiskan dengan klayapan ke kota-kota di Belanda yang belum pernah saya sambangi. Hampir setiap weekend tidak pernah saya habiskan untuk berdiam di rumah. Rasanya bosan berada di desa yang sangaaat sepi (tapi rata-rata kota di Belanda atau bahkan Eropa memang sepi sih. Hanya kota besar saja yang ramai itupun di touristy places). Beberapa hari sebelum hari jumat pasti saya selalu mengontak teman-teman yang mau menampung saya selama dua hari (sabtu-minggu) haha atau mengatur jadwal bepegian bareng mereka. Ya, mengatur jadwal! Di sana saya gak bisa seenaknya pergi langsung pergi kayak di Indonesia. Mulai terbiasa bikin appointment dan hidup teratur.


Sepulang dari cafe masih naik bakfiets dong haha. Untung ini Belanda bukan Indonesia ya. Jadi gak banyak orang berlalu lalang disepanjang jalan. Kan malu gitu kalo diliatin hehe...

Credit:
1. https://www.gumtree.com

Saturday, August 20, 2016

Pasta Schotel dan Cara Terbaik Minum Wine (Menurut Hostdad)


Di suatu petang saya dan host family makan malam bersama. Hari itu saya memasak pasta schotel atas permintaan si hostkid

Awalnya saya mengumpulkan beberapa lembar resep yang saya ambil dari supermarket Albert Heijn. Hal itu atas saran hostdad agar saya punya variasi masakan tiap harinya. Bahkan dia sendiri yang mengajukan bantuan menerjemahkan resepnya karena hanya tersedia dalam bahasa Belanda. Baiklah, pikir saya. Sampai di rumah, saya menunjukkan beberapa resep itu pada hostkids and let them decide which one they want to have for the next day. Si J memilih pasta schotel. Resepnya berbahasa Belanda jadi malam harinya saya minta hostmom untuk mengartikan dan menunjukkan bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan. 

Keesokan harinya, seperti biasa, setelah mengantar anak-anak ke sekolah saya pergi ke supermarket untuk membeli segala keperluan dapur, terutama bahan-bahan untuk makan malam. Bahan-bahan pasta schotel kini telah siap. Sore harinya, setelah menjemput anak-anak dari sekolah, saya mulai meracik bahan-bahan tersebut. Seperti janji hostdad yang ingin membantu menerjemahkan resep, bertanyalah saya padanya. Sayang sekali, dia terlihat sibuk sekali di depan layar komputer, skype dengan rekan kerjanya (Dia memang selalu begitu kalau di rumah, sepanjang hari di depan layar komputer membahas bisnisnya). Merasa tidak enak, saya urungkan niat untuk bertanya. Tapi bagaimana ini? Bahan-bahan sudah terbeli dan siap pakai, kalau tidak dimasak kan sia-sia. Terpaksa saya menggunakan google translate dengan hasil yang acak-acakan namun cukup membantu demi memahami sebuah resep makanan yang asing di Indonesia, asing di lidah, dan asing di masak oleh orang Indonesia. 

Akhirnya pasta schotel hasil mengikuti resep dari google translate pun jadi. Perpaduan pasta, krim dan sosis terlihat nikmat sekali meski sebenarnya saya ragu mereka akan suka. Tak disangka-sangka, si J mengatakan kalau masakan saya enak sekali. Awwww... What a compliment! Ini pujian luar biasa. Thanks to J, jij bent lief

Sehabis makan malam kami minum wine (tentu tanpa anak-anak). Saya kurang tahu jenisnya, yang penting minum saja hehe. Si hostdad menuang sedikit di gelas saya. Kami pun bersulang dan meneguknya. Tiba-tiba kepala saya terasa aneh, mata saya tidak bisa melihat dengan fokus. Rasanya seperti berputar.

"Kamu kenapa?" tanya Hostdad.
"Kepalaku pusing nih." sahut saya. 
"Jelas saja, kamu minum wine kayak minum teh saja." jawabnya sambil melihat isi gelas saya yang sudah hampir kosong.
"Gini nih cara terbaik minum wine..." jelasnya sembari memperagakan. "Pertama, taruh hidung di pinggiran gelas dan hirup baunya demi mendapatkan rasa. Lalu, teguk sedikit demi sedikit." lanjutnya. 
"Jangan langsung ditenggak begitu saja." si Hostmom menyahut.

"Ooo..gitu." ucap saya pasrah.

Credit:
1. www.huffingtonpost.com

Friday, April 8, 2016

Parijs!


Ini lagu berbahasa Belanda pertama yang saya dengar. Dan langsung jatuh cinta! Awww... Awal cerita saya mendengar lagu ini ketika mengantar hostkid les gitar.  Jumat sore saya mengantar A menuju tempat les gitar yang berjarak 15 menit jauhnya. Seperti biasa, kami bersepeda dan saya menggendong gitarnya di punggung. Studio tempat A berlatih hanya cukup untuk berdua sebenarnya, tapi dicukup-cukupin buat bertiga karena tidak mungkin saya balik ke rumah mengingat lesnya hanya setengah jam. Mau tahu berapa biaya les per pertemuan selama hanya setengah jam itu? 17 Euro! Ulala sekali, bukan? Pelatihnya seorang lelaki berambut pirang sebahu. Saya lupa namanya, tapi gak lupa gantengnya hehe. Saat les lah saya mendengar lagu itu dan enak banget musiknya. Sepulang dari les si A selalu nyanyiin lagu itu sepanjang jalan, mau gak mau saya kebawa situasi buat ikut nyanyi dong meski masih suka keserimpet lidahnya. 

Lagu itu akhirnya jadi lagu kebangsaan semasa di Belanda bahkan sampai sekarang pun masih. Tiap di rumah pasti deh nyetel lagu itu lewat spotify sambil nyanyi-nyanyi. Oh ya, ini lagu judulnya Parijs (Paris) dinyanyikan oleh seorang pria Suriname. Saya gak tahu cerita tepatnya, tapi lagu ini mengisahkan seseorang yang menemukan wanita idamannya di Paris. Romantis, kan? Aaaakkk, jadi keinget kan kalo saya belum sempat ke Paris huhu. Coba deh liat videonya dan dengar musiknya. Meski gak ngerti ngomong apa tapi dijamin seru dan kerasa banget romantisnya kota Paris.


Geniet ervan!