Thursday, March 31, 2016

Qatar Airways: Nggembel 10 Jam di Doha Airport (2)


Meski sudah membekali diri dengan berbagai informasi transit dan kebandaraan, dan selengkap apapun informasi yang didapat, tetap saja itu hanyalah sepenggal teori yang tak bisa membendung rasa gugup dan cemas. 

30 menit sebelum landing, gemerlap kota Doha, Qatar tampak indah dari atas. Ha! Rasanya tercekat tak karuan. Saya sudah memasuki langit negeri asing, sebentar lagi menjejak tanahnya. Tak bisa dipercaya! 

Pesawat mendarat dengan mulus. Pramugari bersiap di samping pintu keluar dan mempersilakan penumpang kelas bisnis turun terlebih dulu. Ketika menuruni tangga pesawat, beberapa shuttle bus berwarna putih siap mengantar para penumpang menuju arrival gate yang ditempuh dalam waktu 15 menit. Saya termasuk dalam rombongan terakhir, berdiri di dalam bus bersama para penumpang asing lainnya. Rasanya ingin menangis, antara sedih karena sendirian dan sedih terharu bangga. 

Kebingungan menjalar tatkala sampai di tempat kedatangan. Yah, tak ada yang bisa dilakukan kecuali mempercayakannya pada insting. Saya putuskan mengikuti ke mana arah rombongan pergi. Sesungguhnya, khawatir itu tak perlu terjadi. Banyak petugas bandara yang dengan senang hati melayani penghuni bandara. Mereka sangat ramah, informatif dan sangat sangat membantu. Para penumpang transit di arahkan mengambil eskalator menuju lantai atas. Disana saya ikut mengular panjang dalam antrian. Karena ragu, saya beranikan diri bertanya pada seorang petugas terdekat. Saya katakan bahwa saya transit selama 10 jam dan apa yang harus saya lakukan. Lelaki keturunan India itu mengarahkan saya menuju counter disisi kiri antrian, dimana saya bisa book hotel mengingat waktu transit saya yang lama. Sayang, tak ada hotel available

Sebenarnya, untuk waktu transit diatas 8 jam, terdapat fasilitas Doha city tour. Kita akan diajak oleh petugas mengelilingi kota Doha GRATIS. Lumayan bukan? Banget! Sayang sekali jadwal tiba saya di Doha sudah larut, jadi kesempatan mengeksplorasi kota Doha pupus sudah.

Wanita penjaga counter lantas mengarahkan saya untuk turun menuju kawasan duty free bandara dan mencari sleeping area untuk istirahat. Sudah berputar kelelahan mencari tapi tak mendapat solusi, saya bertanya pada seorang petugas yang lewat. Ternyata oh ternyata, jalan turunnya harus melewati pengecekan tempat saya ikut mengantri tadi. Huft. Leganya bisa mendapati kawasan duty free

Saya melangkah menuju Hall yang sangat luas yang berada di tengah-tengah Gate A, B, C, D dan E. Beragam toko berjejer mendagangkan produknya. Bukannya mencari sleeping area, saya malah menuju internet area yang dilengkapi dengan kursi, meja dan beberapa unit komputer. Tepat disebelahnya terdapat arena bermain untuk anak-anak. Browsing dan update status di facebook merupakan satu cara membunuh waktu dan mengusir kebosanan. 

Jalan-jalan di bandara sudah, main komputer sudah, ah tapi waktu masih terasa lama sekali. Lelah dan kantuk mulai menjalar. Karena mengantuk dan tidak menemukan sleeping area, area TV pun sudah penuh orang molor, jadilah saya cuma bisa duduk menaruh kepala di meja di area internet dan berusaha memejamkan mata. 1 jam, 2 jam, 3 jam, kini jam di HP sudah menunjukkan pukul 4 pagi. 

Badan terasa pegal-pegal karena tidur dalam posisi duduk. Lebih baik jalan-jalan lagi menyusuri bandara, pikir saya. Sebelumnya, saya cek papan informasi penerbangan yang bisa di cek dimanapun dengan mudah. Penerbangan saya berikutnya berada di Gate A7. Maka sebaiknya saya menuju sana, berjalan menyusuri lorong Gate A yang cukup panjang. Pada jam-jam ini bandara tampak sedikit lengang. Kebanyakan masih nyenyak dan hanya beberapa yang mondar-mandir. Mendekati Gate A7, terlihat sebuah ruangan cukup besar disisi kiri berisi jajaran sofa dan orang tertidur nyenyak diatasnya. Ah! Ternyata inilah sleeping area yang saya cari-cari. Kenapa baru sekarang ketemunya? Inginnya sih tidur lagi, memanjakan badan dengan empuknya sofa. Tapi apa daya, mata sudah terlanjur benderang.

Penantian boarding hanya dihabiskan dengan duduk-duduk atau melihat-lihat cinderamata Qatar. Bisa ditebak, temanya kurang lebih unta semua haha. Merasa haus, saya membeli air mineral dengan selembar 5 euro yang saya bawa dari Indonesia. Sisa kembalian dibayar dengan tiga lembar 1 dollar dan selembar riyal. Gak nyambung sama sekali haha.

Akhirnya saat boarding tiba. Saya berkenalan dan berbincang dengan seorang wanita palestina. Ia hendak melanjutkan studinya di Eropa. Perpisahan kami diakhiri dengan camilan dried fruit yang ia bawa dari negaranya.

Tuesday, March 29, 2016

Qatar Airways: Penerbangan Jakarta - Doha (1)


Bulan Agustus 2015, saya berkesempatan menjajal Qatar Airways dalam penerbangan ke Belanda untuk yang pertama kalinya. Tahukah kalian kalau airlines ini dinobatkan sebagai airlines terbaik pertama mengalahkan Singapore Airlines tahun 2015 versi Skytrax? Waktu itu saya benar-benar have no idea tentang pesawat, baru kemarin menyadari bahwa saya pernah naik Qatar Airways, pesawat terbaik nomor 1 di dunia! Wow! Luar biasa bahagia dan bangga, meski telat sih. 

Rute yang saya ambil yaitu Jakarta - Doha - Amsterdam. Saya memiliki waktu transit di Doha yang cukup panjang, 10 jam. Bayangkan, itu pertama kalinya saya naik pesawat ke luar negeri, sendirian, transit 10 jam pula. Untungnya hidup di jaman sekarang, segala informasi dapat diakses dengan mudah. Sebelum berangkat, saya sudah membekali diri dengan segala sesuatu mengenai kepesawatan sehingga dapat sedikit mengurangi rasa gugup dan cemas. 

Perjalanan Jakarta - Doha ditempuh kurang lebih selama 8 jam. Ruangan pesawat cukup nyaman dengan konfigurasi tempat duduk 2-4-2. Saya mengambil tempat duduk di sisi kiri dekat jendela. Sementara sebelah saya seorang lelaki timur tengah (sepertinya orang Qatar) yang tidak tahu kalau minum Aqua itu menggunakan sedotan. Haha. 

Selama perjalanan, penumpang mendapat jatah makan 2x dan snack 2x (kalau tidak salah). Untuk minum, bisa milih mau kopi, jus, coca cola, teh, dll. Makanannya pun enak. Pokoknya dalam hal makanan, semuanya memuaskan. Disamping itu, para pramugari juga membagikan selimut, bantal, kaus kaki, headset, dan seperangkat toilettries (bisa dibawa pulang). Saya sempat sedikit keheranan mendapati pramugarinya ternyata berasal dari berbagai kewarganegaraan, salah satunya dari Korea. 


Tidak banyak yang saya lakukan dalam pesawat, tetapi jelas ada banyak sekali yang saya perhatikan dan pelajari.  Misal saja, saat pesawat akan lepas landas. Awalnya berjalan memutar, berjalan cepat, sangat cepat dan kemudian mengangkasa. Perbedaannya nyata sekali dengan menaiki pesawat kecil. Saya akui, pilot Qatar Airways sangat profesional sekali mengingat saat take-off dan landing dilakukan dengan smooth. Jelas terasa sekali perbedaannya saat saya menaiki Egypt Air. Hal lain yang saya perhatikan yaitu sayap pesawat. Ternyata ada bagian dari sayap pesawat yang akan membuka dan menutup saat pesawat dalam posisi take-off atau landing. Sama halnya dengan jendela dan lampu dalam pesawat. Dalam keadaan tertentu, jendela harus ditutup dan atau lampu akan dimatikan. Untuk pertama kalinya pula saya menjajal toilet di pesawat. Menggunakan toilet di pesawat tidak sesulit menggunakan toilet di kereta karena tidak goyang-goyang. Anehnya, saat nge-flush, tidak nampak sama sekali air memutar di lubang kloset. Justru muncul suara angin keras sekali yang menyedot pembuangan. 

Perjalanan panjang tersebut selebihnya saya habiskan dengan tidur setelah agak lama mengutak-atik LCD screen pesawat, pun tak ada yang bisa dilihat dibalik jendela karena hari sudah gelap. Hanya bangun saat mau makan haha.

Credit:
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:A7-ADG_Qatar_Airways_Airbus_A320-232,_takeoff_from_Schiphol_(EHAM-AMS)_runway_36L_pic3.JPG

Tuesday, March 22, 2016

Paspor 24 Halaman: Benarkah Paspor Khusus TKI?


Saya ingin berbagi pengalaman saat membuat paspor 24 halaman. Beberapa bulan lalu saya membaca berbagai blog tentang cara membuat paspor dan jenis-jenisnya. Seperti yang diketahui, paspor reguler terdiri dari 2 macam, yaitu: paspor 24 halaman dan paspor 48 halaman. Rasa penasaran membimbing saya unutk membuka web resmi imigrasi demi melegakan kehausan informasi. Di halaman depan web, terdapat gambar yang menunjukkan bahwa kedua paspor tersebut memiliki fungsi yang sama. Perbedaannya hanyalah jumlah halaman dan harga. Saya girang bukan main saat tahu bisa membuat paspor 24 halaman karena harganya yang lebih murah. Akan tetapi, saya masih sedikit ragu.



Berbekal keraguan, saya kembali mengacak-acak segala macam blog demi menemukan informasi tentang paspor 24 halaman. Dari sebagain besar blog yang saya baca, beberapa penulis menyatakan adanya hambatan dengan pihak imigrasi terkait pembuatan paspor 24 halaman. Dengan menilik informasi lebih jauh lagi, saya baru tahu bahwa paspor 24 halaman dulunya adalah paspor khusus TKI. Tapi itu dulu. Sejak tahun 2010, kedudukan paspor 24 halaman SETARA dengan paspor 48 halaman. Secara fungsi dia dapat digunakan tidak terbatas oleh TKI saja tapi juga masyarakat pada umumnya. Masa berlaku yang tadinya hanya 3 tahun sekarang menjadi 5 tahun. Dasar hukum mengenai paspor 24 halaman bisa didownload di web resmi imigrasi melalui link ini.

Meski demikian, beberapa orang–-dalam blognya–-mengaku kesulitan dan mendapat diskriminasi terkait pembuatan paspor 24 halaman. Beberapa isu yang beredar menyatakan bahwa paspor tersebut hanya dapat digunakan oleh TKI, hanya bisa digunakan di negara bebas visa atau VoA, dan tidak bisa digunakan untuk ke negara-negara Eropa atau Amerika. Beberapa blog menguatkan tekad saya untuk tetap membuat paspor 24 halaman, karena menurut saya landasan hukumnya pun sudah sangat jelas bahwa paspor tersebut bisa digunakan oleh masyarakat umum. Pertimbangan saya membuat paspor 24 halaman selain karena harga yang relatif murah juga karena menyesuaikan kebutuhan. Dalam periode 5 tahun, bagi orang seperti saya yang tidak bekerja bolak-balik negara atau sering bepergian ke luar negeri, paspor 24 halaman sudah sangat cukup. Mubazir jika saya membuat paspor dengan banyak halaman.

Hari H pembuatan paspor saya pun mendapat "ceramah" dari pihak imigrasi Jogja. Hal ini sudah saya perkirakan sebelumnya dan sudah menyiapkan berbagai jawaban untuk pertanyaan yang mungkin muncul dari pihak imigrasi. Beginilah kira-kira obrolan saya dengan pihak imigrasi saat wawancara.

Imigrasi: Mau pergi ke mana mbak?

Saya: Belanda, mbak.

Imigrasi: Dalam rangka apa?

Saya: Pertukaran budaya.

Imigrasi: Oh ya mbak, kalo untuk ke Belanda tidak bisa menggunakan paspor yang 24 halaman.

Saya: Loh.. saya kemarin waktu mau daftar online lihat halaman awal web menyatakan kalo paspor 24 dan 48 halaman fungsinya sama.

Imigrasi: Gini ya mbak, saya jelaskan. Yang membedakan kedua paspor tersebut bukan jumlah halaman tapi fungsinya (udah mulai agak judes). *Loh, justru fungsinya yang sekarang udah disetarakan kok, batinku*

Saya: Tapi kemarin saya email pihak kedutaan katanya bisa kok *ini ngawur*

Imigrasi: Iya, tapi hanya bisa digunakan di asia tenggara saja (tambah judes).

Saya: Tapi kemarin temen saya ke Belanda pake yang 24 halaman bisa kok. *ini ngawur*

Imigrasi: Yaudah terserah (judes). 

Begitulah kira-kira hambatan yang saya hadapi ketika membuat paspor 24 halaman. Selebihnya ketika scan sidik jari dan ambil paspor lancar jaya. Namun sejujurnya saya juga gelisah kalau-kalau visa saya tidak di approve gegara menggunakan paspor 24 halaman. Saya cuma bisa berdoa dan yakin bahwa segalanya akan baik-baik saja. Hingga akhirnya tanggal 21 Juli 2015 kemarin pihak IND meloloskan permohonan visa saya dan pihak kedutaan Belanda di Jakarta pun sudah menerima MVV approval saya dan tinggal saya ambil. Luar biasa lega haha.

Jadi, selama paspor anda masih berlaku, halaman paspor masih cukup dan ada visa yang valid, anda bebas kemana saja :D Dan yang menjadi pertimbangan utama visa anda lolos adalah bukti yang menyatakan bahwa anda mempunyai dana yang cukup di negara orang, bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari hingga waktu kembali nanti. Pertimbangan tersebut berdasar pemikiran bahwa dengan demikian anda tidak akan jadi “gembel” di negara orang yang bisa menjadikan anda imigran ilegal.

Semoga bermanfaat!

Credit:
1.https://uzone.id/amp/paspor-hilang-di-negara-orang-harus-melakukan-apa?utm_source=amp_google&utm_medium=pages&utm_campaign=amp_pages_google_20180223
2. www.imigrasi.com

Friday, March 18, 2016

Dibalik Serunya Foto Perjalanan ke Belgia


Sudah tiga kali weekend saya habiskan untuk jalan-jalan di Belanda. Seorang kawan menawarkan untuk mencicipi negara seberang. Ya, Belgia. Kami berencana jalan bersama ke Belgia minggu depan bersama tiga orang lainnya yang belum saya kenal. Dia menawarkan tiket online seharga €8 pulang-pergi yang tentunya lebih murah daripada beli langsung. Namun saya tolak karena belum bisa memastikan apakah bisa pergi. Akhirnya kamis siang saya pastikan bahwa saya akan ikut dan memutuskan untuk membeli tiket on the spot. Telah di sepakati pula bahwa meeting point kami di Roosendaal pukul 9 pagi mengingat jadwal keberangkatan mereka sekitar pukul 9.42. Roosendaal merupakan sebuah kota diujung Belanda yang berada dekat dengan perbatasan Belgia. Dengan OV Chipkaart yang telah terdaftar berlangganan weekend vrij, secara otomatis bisa digunakan untuk bepergian dengan kereta secara gratis di seluruh Belanda, termasuk ke Roosendal, mulai setiap jumat malam hingga senin dini hari. Meeting point di Roosendal yang berbatasan dengan Belgia merupakan salah satu trik agar perjalanan antar negara lebih dekat sehingga biaya yang dikeluarkan pun lebih murah.
Jumat malam saya menumpang di rumah seorang kawan di kota tetangga, Alkmaar. Maklum, saya tinggal di Bergen, kota kecil dekat pantai di Belanda bagian Utara yang hanya dilewati bis setiap satu jam. Sementara saya harus berangkat menggunakan kereta sekitar pukul 6.30, dan bis paling pagi baru beroperasi pukul 7.30 di hari weekend.
Tibalah penantian itu. Pukul enam pagi saya pamit berangkat. Berjalan kaki di pagi buta yang sangat dingin bersamaan dengan suasana kota yang masih lengang menuju stasiun kereta api Alkmaar. Tak lama, hanya memakan waktu sepuluh menit. Oh ya, sebelumnya jadwal kereta api bisa dilihat secara online. Saya memilih jadwal paling pagi agar sampai di meeting point tepat waktu. Seperti yang terjadwal, saya akan berganti kereta sekali di Rotterdam. Sesampainya di stasiun Alkmaar, check in dilakukan dengan menge-tap OV Chipkaart di mesin yang tersedia di beberapa titik stasiun. Lalu berjalan menaiki tangga menuju spoor 1 dimana kereta saya akan berhenti. Setibanya kereta, saya dan para penumpang lain memasuki gerbong kereta. Kesialan pertama. Tetiba terdengar pengumuman berbahasa Belanda dari pengeras suara dalam kereta. Saya lantas panik melihat beberapa orang mulai mengangkat kaki keluar.
"What happen?" saya beranikan diri bertanya pada seseorang yang juga sama bingungnya.
"I don't know. Something’s wrong. We all need to change the train." balasnya.
Baiklah, pikir saya. Saya beranjak keluar dan luar biasa panik mengingat perjalanan dari Alkmaar menuju Roosendal tidak singkat. Setidaknya memakan waktu tiga jam. Dengan gelisah, saya cek ulang jadwal melalui HP. Sialnya, dari berbagai alternatif jadwal yang tertera, tidak ada satu pun yang bisa membawa saya ke Roosendal tepat waktu. Beruntungnya, saya tidak menerima tawaran tiket online dan memilih membeli on the spot sehingga meskipun terlambat, saya tidak rugi apapun. Bedanya, saya tidak bisa berangkat bersama mereka. Lalu sendirian? ke Belgia? Duh. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, segera saya putuskan mengambil kereta pukul 7. Kali ini saya akan berganti kereta dua kali di Amsterdam Sloterdijk dan di bandara Schipol, baru kemudian meluncur ke Roosendaal. Kesialan kedua. Sesampainya di Amsterdam Sloterdijk, kereta yang membawa saya ke bandara Schiphol terlambat tiba. Cemas kembali menghampiri. Saya berpikir, jika saya tetap mengambil kereta menuju Schipol, tentu saya akan ketinggalan kereta yang membawa saya ke Roosendal. Saya putuskan mengecek ulang jadwal, mencari alternatif lain yang lebih cepat, dan mengambil rute berbeda, dari Sloterdijk langsung menuju Roosendaal. Saya kabari mereka bahwa saya terlambat datang dan kami sepakat bertemu di Belgia. Oke, jadi saya akan ke Belgia sendirian, pikir saya cemas.
Perjalanan menuju Roosendaal yang cukup panjang saya habiskan dengan menikmati pemandangan melalui jendela kaca kereta. Seringkali terlihat hamparan ladang yang hijau asri. Ada kalanya melewati terowongan bawah tanah yang panjang sekali. Atau melalui jembatan yang berada diatas perairan tenang. Namun kesejukan itu digelisahkan dengan rasa nyeri di perut. Apa yang saya khawatirkan daritada terjadi juga. Kesialan ketiga. Tamu bulanan datang disaat yang benar-benar tidak tepat. Kesejukan menikmati pemandangan berubah jadi kegelisahan. Beruntung sekali saya memakai celana jeans hitam dan coat hitam panjang. Setiba di Roosendaal, saya berlari menuju counter tiket dan membeli tiket pulang-pergi Roosendaal-Belgia seharga €12. Lantas secepat kilat mencari toilet sebelum kereta berangkat. Seperti yang diduga, hari pertama dan tanpa membawa pembalut...argh! Pun tidak ada toko yang menjual di stasiun, mungkin karena hanya stasiun kecil. Tanpa pikir panjang, saya tarik tisu toilet yang cukup panjang untuk menahan selama sekitar satu jam perjalanan ke Belgia. Sedikit lega meski tetap tak nyaman.
Ini merupakan perjalanan saya ke Belgia dengan naik kereta berpenampilan tidak lebih bagus dari kereta milik Belanda. Gerbongnya sempit dan penuh orang. Saya berusaha mencari tempat duduk dan menemukan satu disebelah perempuan Asia dengan koper disebelahnya. Saat hendak mengabari kawan, sebuah SMS masuk. Sinyal hilang. Glek. Sadar bahwa kereta telah memasuki wilayah Belgia. Bingung tak bisa berkirim pesan karena fasilitas WiFi pun tak ada. Hanya bisa berdoa dan berharap menemukan WiFi di stasiun. Sesampai di stasiun, segera saya nyalakan WiFi. Muka berubah pucat pasi gegara tak ada sinyal WiFi yang nyantol. Arstitektur stasiun Antwerpen yang dikenal sangat menawan terlupa sudah. Terlebih, saya sempat kebingungan mencari pintu keluar karena luasnya stasiun. Apalagi bahasa yang terpampang di papan-papan petunjuk pun sudah berbeda. Melihat sekeliling dengan bingung, saya dapati segerombolan orang bergerak menaiki eskalator. Dengan lemas, saya ikuti mereka menaiki eskalator panjang dan begitu menanjak. Syukurlah, lobi luas nan indah berujung pintu utama nampak juga. Disitu pula saya menemukan sinyal WiFi. Panik hilang, bahagia pun datang.

Sehari di Belgia kami nikmati dengan menyusuri kota Antwerpen, kota terbesar kedua di Belgia setelah Brussels. Berjalan menuju Cathedral of Our Lady yang terkenal dan masuk dalam daftar situs warisan dunia. Bergerak lagi menuju Grote Markt yang dikelilingi oleh bangunan berarsitektur indah. Juga mengunjungi Steen Castle yang terletak di timur sungai Scheldt, sebuah istana dari batu pada era dimana rumah terbuat dari kayu. Tak kalah menarik, kami memasuki museum mode bernama MoMu Fashion yang berisi aneka ragam sepatu unik dan aneh. Sekembalinya ke stasiun, tak lupa jajan es krim seharga €2,50 per scoop. Kenapa bukan coklat ya? Hahaha.


Begitulah perjalanan saya ke Belgia yang mengesalkan sekaligus menggembirakan. Percayalah, serunya perjalanan bukanlah ketika tiba di tempat tujuan, tetapi proses mencapai tempat itu.