Thursday, October 20, 2016

Udah Gede Naik Bakfiets


Sepeda sudah merupakan hal yang lumrah di Belanda. Bahkan tercatat jumlah sepeda lebih banyak dari jumlah penduduknya. Sebagian warga belanda mengendarai sepeda untuk bepergian. Jika kalian berkunjung kesana, akan sering menemui jajaran sepeda yang tak terhitung jumlahnya. 

Nah, saat itu saya kabari Flo kalau saya berniat menginap di tempatnya di Utrecth dan minta dijemput di stasiun Utrecth Centraal. Saya hendak kesana Sabtu sore sehabis menemui saudara di Apeldoorn. Ternyata di hari itu dia musti babysit di rumah dan gak bisa pergi kemana-mana.


Namun dia bisa menjemput kalo saya turun di stasiun Utrecth Terwijde. Ok, kita sepakat. Sepulang dari Apeldoorn, saya menuju Utrecth dengan jarak tempuh sekitar 1,5-2 jam. Turun di Utrecth Centraal lanjut ke Utrecth Terwijde. Saat itu udah sore sekitar pukul 4. Saya kabari Flo kalau udah sampai. Tapi tak ada jawaban sama sekali (yang belakangan saya ketahui HPnya diumpetin para krucilnya, huft). Pulsa habis dan baterai sekarat. Duh! Saya beranikan diri meminjam HP orang asing di sebelah saya. Masih tak ada jawaban. Baru 1 jam kemudian Flo datang mengendarai bakfiets berisi 2 krucil.


"Ayo kamu naik (bakfiets) aja," ujar Flo.
"Eh?" antara bingung dan aneh. Masak udah gede naik bakfiets, bareng 2 krucil pula. Kalo diliatin orang kan malu.
"Udah gak papa, muat sampe 100 kg kok. Tenang aja" kata Flo.
"Emang kamu kuat Flo ngangkut 3 orang?" kataku ragu.

"Kan ini sepeda elektrik." dia meyakinkan. Jadi sepeda elektrik itu memberi tambahan dorongan tenaga saat pengendaranya mengayuh. Jadi lebih ringan dan gak susah payah mengayuh.


Jadilah saya naik di bak bareng 2 krucil keturunan Jerman-India. Naik bakfiets itu enak ternyata, silir-silir dingin gitu lah haha. Belanda merupakan negara maju, jadi mereka sangat sadar keamanan. Disetiap bakfiets selalu ada sabuk pengaman yang dipakai para krucil. Selain itu, tersedia pula tudung bening yang melindungi para krucil dari hujan atau salju.


Sebelum pulang ke rumah kami mampir dulu di cafe jajan coklat dan es krim hehe. Suasana dan tempatnya nyaman banget. Mana waktu itu pas musim gugur, duduk di luar di bawah pohon dengan dedaunan yang menguning. Dapet banget suasananya! Ada playground juga di belakang. Jadi kami nongkrong sambil liatin krucil mainan. 

Selain sepeda, Belanda juga memenuhi kebutuhan para fietsen (pesepeda) yang membawa toddler. Maka terciptalah bakfietsBakfiets merupakan salah satu alat transportasi khas Belanda yang menggabungkan sepeda dan bak. Dengan begitu, para pesepeda dapat bepergian membawa balita dengan nyaman dan aman. Bak ini secara umum memang ditujukan untuk balita. Pernah naik bakfiets? Saya pernah! Haha...

Weekend adalah hari BEBAS. Biasanya saya habiskan dengan klayapan ke kota-kota di Belanda yang belum pernah saya sambangi. Hampir setiap weekend tidak pernah saya habiskan untuk berdiam di rumah. Rasanya bosan berada di desa yang sangaaat sepi (tapi rata-rata kota di Belanda atau bahkan Eropa memang sepi sih. Hanya kota besar saja yang ramai itupun di touristy places). Beberapa hari sebelum hari jumat pasti saya selalu mengontak teman-teman yang mau menampung saya selama dua hari (sabtu-minggu) haha atau mengatur jadwal bepegian bareng mereka. Ya, mengatur jadwal! Di sana saya gak bisa seenaknya pergi langsung pergi kayak di Indonesia. Mulai terbiasa bikin appointment dan hidup teratur.


Sepulang dari cafe masih naik bakfiets dong haha. Untung ini Belanda bukan Indonesia ya. Jadi gak banyak orang berlalu lalang disepanjang jalan. Kan malu gitu kalo diliatin hehe...

Credit:
1. https://www.gumtree.com

Saturday, August 20, 2016

Pasta Schotel dan Cara Terbaik Minum Wine (Menurut Hostdad)


Di suatu petang saya dan host family makan malam bersama. Hari itu saya memasak pasta schotel atas permintaan si hostkid

Awalnya saya mengumpulkan beberapa lembar resep yang saya ambil dari supermarket Albert Heijn. Hal itu atas saran hostdad agar saya punya variasi masakan tiap harinya. Bahkan dia sendiri yang mengajukan bantuan menerjemahkan resepnya karena hanya tersedia dalam bahasa Belanda. Baiklah, pikir saya. Sampai di rumah, saya menunjukkan beberapa resep itu pada hostkids and let them decide which one they want to have for the next day. Si J memilih pasta schotel. Resepnya berbahasa Belanda jadi malam harinya saya minta hostmom untuk mengartikan dan menunjukkan bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan. 

Keesokan harinya, seperti biasa, setelah mengantar anak-anak ke sekolah saya pergi ke supermarket untuk membeli segala keperluan dapur, terutama bahan-bahan untuk makan malam. Bahan-bahan pasta schotel kini telah siap. Sore harinya, setelah menjemput anak-anak dari sekolah, saya mulai meracik bahan-bahan tersebut. Seperti janji hostdad yang ingin membantu menerjemahkan resep, bertanyalah saya padanya. Sayang sekali, dia terlihat sibuk sekali di depan layar komputer, skype dengan rekan kerjanya (Dia memang selalu begitu kalau di rumah, sepanjang hari di depan layar komputer membahas bisnisnya). Merasa tidak enak, saya urungkan niat untuk bertanya. Tapi bagaimana ini? Bahan-bahan sudah terbeli dan siap pakai, kalau tidak dimasak kan sia-sia. Terpaksa saya menggunakan google translate dengan hasil yang acak-acakan namun cukup membantu demi memahami sebuah resep makanan yang asing di Indonesia, asing di lidah, dan asing di masak oleh orang Indonesia. 

Akhirnya pasta schotel hasil mengikuti resep dari google translate pun jadi. Perpaduan pasta, krim dan sosis terlihat nikmat sekali meski sebenarnya saya ragu mereka akan suka. Tak disangka-sangka, si J mengatakan kalau masakan saya enak sekali. Awwww... What a compliment! Ini pujian luar biasa. Thanks to J, jij bent lief

Sehabis makan malam kami minum wine (tentu tanpa anak-anak). Saya kurang tahu jenisnya, yang penting minum saja hehe. Si hostdad menuang sedikit di gelas saya. Kami pun bersulang dan meneguknya. Tiba-tiba kepala saya terasa aneh, mata saya tidak bisa melihat dengan fokus. Rasanya seperti berputar.

"Kamu kenapa?" tanya Hostdad.
"Kepalaku pusing nih." sahut saya. 
"Jelas saja, kamu minum wine kayak minum teh saja." jawabnya sambil melihat isi gelas saya yang sudah hampir kosong.
"Gini nih cara terbaik minum wine..." jelasnya sembari memperagakan. "Pertama, taruh hidung di pinggiran gelas dan hirup baunya demi mendapatkan rasa. Lalu, teguk sedikit demi sedikit." lanjutnya. 
"Jangan langsung ditenggak begitu saja." si Hostmom menyahut.

"Ooo..gitu." ucap saya pasrah.

Credit:
1. www.huffingtonpost.com

Friday, April 8, 2016

Parijs!


Ini lagu berbahasa Belanda pertama yang saya dengar. Dan langsung jatuh cinta! Awww... Awal cerita saya mendengar lagu ini ketika mengantar hostkid les gitar.  Jumat sore saya mengantar A menuju tempat les gitar yang berjarak 15 menit jauhnya. Seperti biasa, kami bersepeda dan saya menggendong gitarnya di punggung. Studio tempat A berlatih hanya cukup untuk berdua sebenarnya, tapi dicukup-cukupin buat bertiga karena tidak mungkin saya balik ke rumah mengingat lesnya hanya setengah jam. Mau tahu berapa biaya les per pertemuan selama hanya setengah jam itu? 17 Euro! Ulala sekali, bukan? Pelatihnya seorang lelaki berambut pirang sebahu. Saya lupa namanya, tapi gak lupa gantengnya hehe. Saat les lah saya mendengar lagu itu dan enak banget musiknya. Sepulang dari les si A selalu nyanyiin lagu itu sepanjang jalan, mau gak mau saya kebawa situasi buat ikut nyanyi dong meski masih suka keserimpet lidahnya. 

Lagu itu akhirnya jadi lagu kebangsaan semasa di Belanda bahkan sampai sekarang pun masih. Tiap di rumah pasti deh nyetel lagu itu lewat spotify sambil nyanyi-nyanyi. Oh ya, ini lagu judulnya Parijs (Paris) dinyanyikan oleh seorang pria Suriname. Saya gak tahu cerita tepatnya, tapi lagu ini mengisahkan seseorang yang menemukan wanita idamannya di Paris. Romantis, kan? Aaaakkk, jadi keinget kan kalo saya belum sempat ke Paris huhu. Coba deh liat videonya dan dengar musiknya. Meski gak ngerti ngomong apa tapi dijamin seru dan kerasa banget romantisnya kota Paris.


Geniet ervan!

Thursday, April 7, 2016

Kisah Pencarian Keluarga di Belanda (1)


Beberapa hari setelah tiba di Belanda, saya menyatakan keinginan pada hostfamily untuk mencari keluarga (agak jauh) di Belanda, tepatnya di kota Apeldoorn. Syukurlah mereka sangat mendukung tindakan saya dan malah membantu saya dalam mencari keluarga yang sama sekali belum pernah saya temui hanya demi menjalin ikatan persaudaraan antara keluarga di Indonesia dan keluarga di Belanda. Bisa dikatakan saya mencoba menjalin kembali hubungan surat-menyurat yang dilakukan Kakek saya dan Opa di Belanda semasa mereka masih hidup.

Hubungan keluarga ini berakar dari hubungan darah antara Mbah Putri (dari Bapak) dan Adiknya yang menikah dengan pria keturunan Belanda, yang akhirnya mereka putuskan untuk menapaki hidup di negeri kincir angin tersebut. Tahu apa? Persoalan silsilah yang rumit ini justru baru saya ketahui setelah bertemu dengan keluarga di Belanda haha. 

Semasa Kakek masih hidup, beliau nampaknya aktif berkirim dan bertukar surat dengan Opa di Belanda (menurut cerita si Bapak). Hal ini dibuktikan dengan setumpukan foto keluarga Belanda yang tersimpan rapi di lemari rumah. Selain itu, jajaran perangko bertuliskan Holland juga melekat rapi pada album perangko yang kini masih tersimpan walau sedikit berdebu. Hingga suatu hari datanglah sepucuk surat beralamat sebuah kota di Belanda. Surat itu tak bertuliskan tangan dan berpenampilan sedikit lebih formal. Tak menguntungkan, isi surat dituliskan dalam bahasa Belanda! Jelas kami tak mengerti. Setelah Ibu berlari menuju Seminari, yang menurut penuturan orang ada seorang Pastor disana yang bisa mengerti bahasa Belanda, barulah kami mengetahui isi surat itu. Surat tersebut mengabarkan berita duka, Oma di Belanda meninggal. Disitu pula tertulis lengkap jajaran silsilah keluarga mereka. Saya pun berinisiatif membalas surat tersebut, menyatakan rasa bela sungkawa dan tak lupa mengabarkan bahwa Kakek telah lebih dulu meninggal. Sejak saat itulah perkenalan saya dengan keluarga disana dimulai lewat sepucuk surat. Sejak saat itu pula terlintas pikiran untuk bisa terbang ke Belanda dan menemui mereka. Terlebih demi mewujudkan impian terbesar dalam hidup saya: pergi ke luar negeri! Semuanya menjadi nyata di tahun 2015. Sebelum berangkat ke Belanda, saya telah lebih dulu menyiapkan surat dari Opa lengkap dengan alamatnya. Ini sangat penting sekali karena tak ada apapun yang saya punyai demi menemukan mereka kecuali barisan alamat itu. 

Kurang lebih dua minggu di Belanda, saya mencoba mengirim surat pada mereka. Saya tuliskan bahwa saat ini saya ada di Belanda dan ingin sekali bisa menemui mereka. Tak lupa, saya tuliskan pula nomor HP dengan maksud balasan dari mereka akan lebih mudah dan lebih cepat diterima. Surat itu saya masukkan ke dalam amplop persegi yang tergeletak di sebuah rak di pojok kamar. Sebenarnya itu bukan amplop pada lazimnya ketika berkirim surat, tetapi amplop pembungkus kartu ucapan. Yah, cuma itu yang ada dan saya tak tahu dimana membeli amplop. Sepulang mengantar anak-anak ke sekolah, seperti biasa saya mampir ke Albert Heijn untuk berbelanja. Namun hari itu, saya tak lupa membawa surat untuk dikirim. Selesai dengan kebutuhan belanja, saya menuju counter pengiriman surat. Disitu surat lantas ditimbang dan membayar sekitar 0.80 Euro (kalau tidak salah). Lalu dimasukkan pada kotak surat berwarna oranye di pojok dekat pintu masuk. Setiap hari saya menilik kotak pos depan rumah, tapi tak satu pun surat ditujukan pada saya. Hingga suatu hari saya begitu kecewa dan sedih karena surat yang saya kirim justru kembali lagi pada saya.

to be continued...

Saturday, April 2, 2016

Qatar Airways: Terjangkit Sesal Menolak Kelas Bisnis Qatar Airways (3)


Tiga jam sebelum keberangkatan, saya telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Terminal 2 untuk penerbangan internasional. Saya langsung menyodorkan tiket pada petugas untuk melakukan check in. Mengingat ini bandara internasional, terlebih di area keberangkatan dan kedatangan internasional, tak heran ada begitu banyak orang asing berlalu lalang. 

Meski saat itu counter Qatar Airways belum buka, saya tetap mengantri bersama beberapa orang lainnya. Setelah menunggu beberapa saat, antrian sudah mulai bergerak. Saya lihat satu atau dua orang digeser ke meja sebelah karena mungkin ada beberapa kesalahan teknis yang harus diselesaikan. Hal ini membuat saya sedikit khawatir. Benar saja, giliran saya maju, setelah petugas mengecek, saya juga ikut digeser ke meja sebelah. Kenapa ini? Padahal semuanya sudah lengkap. 


Seorang petugas wanita lantas berbicara dengan saya bahwa ada seorang penumpang yang harus buru-buru pergi namun sudah tidak mendapat seat. Dia lantas ingin mengambil seat saya dalam perjalanan Jakarta-Doha. Sebagai kompensasi mereka akan meng-upgrade kelas ekonomi saya ke kelas bisnis dan imbalan uang senilai $250, namun jadwal keberangkatan saya akan berubah menjadi pukul 12 malam. Mereka juga menjelaskan bahwa penerbangan tersebut tidak akan mengganggu jadwal penerbangan saya berikutnya, yaitu Doha-Amsterdam. Pikiran saya benar-benar kalut saat itu. Ini pertama kalinya saya naik pesawat overseas dan tiba-tiba ada penawaran upgrade kelas dan imbalan sejumlah uang yang tidak sedikit. Ini beneran atau bohongan ya? Dalam pikiran yang buntu, mereka terus berusaha membujuk saya. Bahkan seandainya saya tidak mendapat pesawat untuk Doha-Amsterdam, mereka bisa menjamin akan mencarikan pesawat lain, yaitu Singapore Airlines. Saya yang masih sangat awam soal pesawat waktu itu tidak tahu kalau kedua pesawat itu merupakan pesawat terbaik semua. Yang mendominasi pikiran saya saat itu: Bagimana kalau bohong? Terus gak bisa sampai Amsterdam? Terus gak punya duit buat pulang? Seandainya saya tahu kalau Qatar Airways pesawat elit, tak akan pernah saya sia-siakan kesempatan seperti itu. Kapan lagi coba?


Akhirnya saya putuskan untuk berbicara dengan keluarga dulu. Saya keluar dan menemui mereka. Saya ceritakan kasus ini se detail mungkin. Si pacar sangat mendukung, toh tidak ada ruginya, malah justru dapat imbalan yang tidak main-main bagi orang seperti saya. Tapi di lain pihak, Om saya berkata lain. Keraguan dan ketakutan saya mengambil kesempatan justru mengarahkan saya menuju sesal. Saya katakan tidak akan menukar seat meski petugas Qatar telah membujuk saya berulang kali. 


Kasus ini lantas saya ceritakan pada beberapa teman di Belanda. Pernyataan mereka malah bikin saya makin menyesal. Bahkan, seorang teman membicarakan ini pada hostmom-nya. Katanya dia sangat menyayangkan keputusan saya. Seandainya dia jadi saya, dia akan ambil kelas bisnis itu dan menggunakan uangnya untuk shopping. Begitu jelas teman saya. Saya cuma bisa senyam-senyum kesal tapi benar juga yang dia bilang. Hostdad saya sendiri pun berulang kali membahas persoalan ini ketika kami mengobrol. 


Katanya, "Sayang banget kelas bisnisnya dilepas. Kamu beruntung loh bisa naik Qatar, aku aja malah belum pernah."


Arrggghhh, nyebelin!



Credit:1. https://glamshelf.com/33-outstanding-colors-and-details-of-natural-landscapes/2/

Thursday, March 31, 2016

Qatar Airways: Nggembel 10 Jam di Doha Airport (2)


Meski sudah membekali diri dengan berbagai informasi transit dan kebandaraan, dan selengkap apapun informasi yang didapat, tetap saja itu hanyalah sepenggal teori yang tak bisa membendung rasa gugup dan cemas. 

30 menit sebelum landing, gemerlap kota Doha, Qatar tampak indah dari atas. Ha! Rasanya tercekat tak karuan. Saya sudah memasuki langit negeri asing, sebentar lagi menjejak tanahnya. Tak bisa dipercaya! 

Pesawat mendarat dengan mulus. Pramugari bersiap di samping pintu keluar dan mempersilakan penumpang kelas bisnis turun terlebih dulu. Ketika menuruni tangga pesawat, beberapa shuttle bus berwarna putih siap mengantar para penumpang menuju arrival gate yang ditempuh dalam waktu 15 menit. Saya termasuk dalam rombongan terakhir, berdiri di dalam bus bersama para penumpang asing lainnya. Rasanya ingin menangis, antara sedih karena sendirian dan sedih terharu bangga. 

Kebingungan menjalar tatkala sampai di tempat kedatangan. Yah, tak ada yang bisa dilakukan kecuali mempercayakannya pada insting. Saya putuskan mengikuti ke mana arah rombongan pergi. Sesungguhnya, khawatir itu tak perlu terjadi. Banyak petugas bandara yang dengan senang hati melayani penghuni bandara. Mereka sangat ramah, informatif dan sangat sangat membantu. Para penumpang transit di arahkan mengambil eskalator menuju lantai atas. Disana saya ikut mengular panjang dalam antrian. Karena ragu, saya beranikan diri bertanya pada seorang petugas terdekat. Saya katakan bahwa saya transit selama 10 jam dan apa yang harus saya lakukan. Lelaki keturunan India itu mengarahkan saya menuju counter disisi kiri antrian, dimana saya bisa book hotel mengingat waktu transit saya yang lama. Sayang, tak ada hotel available

Sebenarnya, untuk waktu transit diatas 8 jam, terdapat fasilitas Doha city tour. Kita akan diajak oleh petugas mengelilingi kota Doha GRATIS. Lumayan bukan? Banget! Sayang sekali jadwal tiba saya di Doha sudah larut, jadi kesempatan mengeksplorasi kota Doha pupus sudah.

Wanita penjaga counter lantas mengarahkan saya untuk turun menuju kawasan duty free bandara dan mencari sleeping area untuk istirahat. Sudah berputar kelelahan mencari tapi tak mendapat solusi, saya bertanya pada seorang petugas yang lewat. Ternyata oh ternyata, jalan turunnya harus melewati pengecekan tempat saya ikut mengantri tadi. Huft. Leganya bisa mendapati kawasan duty free

Saya melangkah menuju Hall yang sangat luas yang berada di tengah-tengah Gate A, B, C, D dan E. Beragam toko berjejer mendagangkan produknya. Bukannya mencari sleeping area, saya malah menuju internet area yang dilengkapi dengan kursi, meja dan beberapa unit komputer. Tepat disebelahnya terdapat arena bermain untuk anak-anak. Browsing dan update status di facebook merupakan satu cara membunuh waktu dan mengusir kebosanan. 

Jalan-jalan di bandara sudah, main komputer sudah, ah tapi waktu masih terasa lama sekali. Lelah dan kantuk mulai menjalar. Karena mengantuk dan tidak menemukan sleeping area, area TV pun sudah penuh orang molor, jadilah saya cuma bisa duduk menaruh kepala di meja di area internet dan berusaha memejamkan mata. 1 jam, 2 jam, 3 jam, kini jam di HP sudah menunjukkan pukul 4 pagi. 

Badan terasa pegal-pegal karena tidur dalam posisi duduk. Lebih baik jalan-jalan lagi menyusuri bandara, pikir saya. Sebelumnya, saya cek papan informasi penerbangan yang bisa di cek dimanapun dengan mudah. Penerbangan saya berikutnya berada di Gate A7. Maka sebaiknya saya menuju sana, berjalan menyusuri lorong Gate A yang cukup panjang. Pada jam-jam ini bandara tampak sedikit lengang. Kebanyakan masih nyenyak dan hanya beberapa yang mondar-mandir. Mendekati Gate A7, terlihat sebuah ruangan cukup besar disisi kiri berisi jajaran sofa dan orang tertidur nyenyak diatasnya. Ah! Ternyata inilah sleeping area yang saya cari-cari. Kenapa baru sekarang ketemunya? Inginnya sih tidur lagi, memanjakan badan dengan empuknya sofa. Tapi apa daya, mata sudah terlanjur benderang.

Penantian boarding hanya dihabiskan dengan duduk-duduk atau melihat-lihat cinderamata Qatar. Bisa ditebak, temanya kurang lebih unta semua haha. Merasa haus, saya membeli air mineral dengan selembar 5 euro yang saya bawa dari Indonesia. Sisa kembalian dibayar dengan tiga lembar 1 dollar dan selembar riyal. Gak nyambung sama sekali haha.

Akhirnya saat boarding tiba. Saya berkenalan dan berbincang dengan seorang wanita palestina. Ia hendak melanjutkan studinya di Eropa. Perpisahan kami diakhiri dengan camilan dried fruit yang ia bawa dari negaranya.

Tuesday, March 29, 2016

Qatar Airways: Penerbangan Jakarta - Doha (1)


Bulan Agustus 2015, saya berkesempatan menjajal Qatar Airways dalam penerbangan ke Belanda untuk yang pertama kalinya. Tahukah kalian kalau airlines ini dinobatkan sebagai airlines terbaik pertama mengalahkan Singapore Airlines tahun 2015 versi Skytrax? Waktu itu saya benar-benar have no idea tentang pesawat, baru kemarin menyadari bahwa saya pernah naik Qatar Airways, pesawat terbaik nomor 1 di dunia! Wow! Luar biasa bahagia dan bangga, meski telat sih. 

Rute yang saya ambil yaitu Jakarta - Doha - Amsterdam. Saya memiliki waktu transit di Doha yang cukup panjang, 10 jam. Bayangkan, itu pertama kalinya saya naik pesawat ke luar negeri, sendirian, transit 10 jam pula. Untungnya hidup di jaman sekarang, segala informasi dapat diakses dengan mudah. Sebelum berangkat, saya sudah membekali diri dengan segala sesuatu mengenai kepesawatan sehingga dapat sedikit mengurangi rasa gugup dan cemas. 

Perjalanan Jakarta - Doha ditempuh kurang lebih selama 8 jam. Ruangan pesawat cukup nyaman dengan konfigurasi tempat duduk 2-4-2. Saya mengambil tempat duduk di sisi kiri dekat jendela. Sementara sebelah saya seorang lelaki timur tengah (sepertinya orang Qatar) yang tidak tahu kalau minum Aqua itu menggunakan sedotan. Haha. 

Selama perjalanan, penumpang mendapat jatah makan 2x dan snack 2x (kalau tidak salah). Untuk minum, bisa milih mau kopi, jus, coca cola, teh, dll. Makanannya pun enak. Pokoknya dalam hal makanan, semuanya memuaskan. Disamping itu, para pramugari juga membagikan selimut, bantal, kaus kaki, headset, dan seperangkat toilettries (bisa dibawa pulang). Saya sempat sedikit keheranan mendapati pramugarinya ternyata berasal dari berbagai kewarganegaraan, salah satunya dari Korea. 


Tidak banyak yang saya lakukan dalam pesawat, tetapi jelas ada banyak sekali yang saya perhatikan dan pelajari.  Misal saja, saat pesawat akan lepas landas. Awalnya berjalan memutar, berjalan cepat, sangat cepat dan kemudian mengangkasa. Perbedaannya nyata sekali dengan menaiki pesawat kecil. Saya akui, pilot Qatar Airways sangat profesional sekali mengingat saat take-off dan landing dilakukan dengan smooth. Jelas terasa sekali perbedaannya saat saya menaiki Egypt Air. Hal lain yang saya perhatikan yaitu sayap pesawat. Ternyata ada bagian dari sayap pesawat yang akan membuka dan menutup saat pesawat dalam posisi take-off atau landing. Sama halnya dengan jendela dan lampu dalam pesawat. Dalam keadaan tertentu, jendela harus ditutup dan atau lampu akan dimatikan. Untuk pertama kalinya pula saya menjajal toilet di pesawat. Menggunakan toilet di pesawat tidak sesulit menggunakan toilet di kereta karena tidak goyang-goyang. Anehnya, saat nge-flush, tidak nampak sama sekali air memutar di lubang kloset. Justru muncul suara angin keras sekali yang menyedot pembuangan. 

Perjalanan panjang tersebut selebihnya saya habiskan dengan tidur setelah agak lama mengutak-atik LCD screen pesawat, pun tak ada yang bisa dilihat dibalik jendela karena hari sudah gelap. Hanya bangun saat mau makan haha.

Credit:
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:A7-ADG_Qatar_Airways_Airbus_A320-232,_takeoff_from_Schiphol_(EHAM-AMS)_runway_36L_pic3.JPG

Tuesday, March 22, 2016

Paspor 24 Halaman: Benarkah Paspor Khusus TKI?


Saya ingin berbagi pengalaman saat membuat paspor 24 halaman. Beberapa bulan lalu saya membaca berbagai blog tentang cara membuat paspor dan jenis-jenisnya. Seperti yang diketahui, paspor reguler terdiri dari 2 macam, yaitu: paspor 24 halaman dan paspor 48 halaman. Rasa penasaran membimbing saya unutk membuka web resmi imigrasi demi melegakan kehausan informasi. Di halaman depan web, terdapat gambar yang menunjukkan bahwa kedua paspor tersebut memiliki fungsi yang sama. Perbedaannya hanyalah jumlah halaman dan harga. Saya girang bukan main saat tahu bisa membuat paspor 24 halaman karena harganya yang lebih murah. Akan tetapi, saya masih sedikit ragu.



Berbekal keraguan, saya kembali mengacak-acak segala macam blog demi menemukan informasi tentang paspor 24 halaman. Dari sebagain besar blog yang saya baca, beberapa penulis menyatakan adanya hambatan dengan pihak imigrasi terkait pembuatan paspor 24 halaman. Dengan menilik informasi lebih jauh lagi, saya baru tahu bahwa paspor 24 halaman dulunya adalah paspor khusus TKI. Tapi itu dulu. Sejak tahun 2010, kedudukan paspor 24 halaman SETARA dengan paspor 48 halaman. Secara fungsi dia dapat digunakan tidak terbatas oleh TKI saja tapi juga masyarakat pada umumnya. Masa berlaku yang tadinya hanya 3 tahun sekarang menjadi 5 tahun. Dasar hukum mengenai paspor 24 halaman bisa didownload di web resmi imigrasi melalui link ini.

Meski demikian, beberapa orang–-dalam blognya–-mengaku kesulitan dan mendapat diskriminasi terkait pembuatan paspor 24 halaman. Beberapa isu yang beredar menyatakan bahwa paspor tersebut hanya dapat digunakan oleh TKI, hanya bisa digunakan di negara bebas visa atau VoA, dan tidak bisa digunakan untuk ke negara-negara Eropa atau Amerika. Beberapa blog menguatkan tekad saya untuk tetap membuat paspor 24 halaman, karena menurut saya landasan hukumnya pun sudah sangat jelas bahwa paspor tersebut bisa digunakan oleh masyarakat umum. Pertimbangan saya membuat paspor 24 halaman selain karena harga yang relatif murah juga karena menyesuaikan kebutuhan. Dalam periode 5 tahun, bagi orang seperti saya yang tidak bekerja bolak-balik negara atau sering bepergian ke luar negeri, paspor 24 halaman sudah sangat cukup. Mubazir jika saya membuat paspor dengan banyak halaman.

Hari H pembuatan paspor saya pun mendapat "ceramah" dari pihak imigrasi Jogja. Hal ini sudah saya perkirakan sebelumnya dan sudah menyiapkan berbagai jawaban untuk pertanyaan yang mungkin muncul dari pihak imigrasi. Beginilah kira-kira obrolan saya dengan pihak imigrasi saat wawancara.

Imigrasi: Mau pergi ke mana mbak?

Saya: Belanda, mbak.

Imigrasi: Dalam rangka apa?

Saya: Pertukaran budaya.

Imigrasi: Oh ya mbak, kalo untuk ke Belanda tidak bisa menggunakan paspor yang 24 halaman.

Saya: Loh.. saya kemarin waktu mau daftar online lihat halaman awal web menyatakan kalo paspor 24 dan 48 halaman fungsinya sama.

Imigrasi: Gini ya mbak, saya jelaskan. Yang membedakan kedua paspor tersebut bukan jumlah halaman tapi fungsinya (udah mulai agak judes). *Loh, justru fungsinya yang sekarang udah disetarakan kok, batinku*

Saya: Tapi kemarin saya email pihak kedutaan katanya bisa kok *ini ngawur*

Imigrasi: Iya, tapi hanya bisa digunakan di asia tenggara saja (tambah judes).

Saya: Tapi kemarin temen saya ke Belanda pake yang 24 halaman bisa kok. *ini ngawur*

Imigrasi: Yaudah terserah (judes). 

Begitulah kira-kira hambatan yang saya hadapi ketika membuat paspor 24 halaman. Selebihnya ketika scan sidik jari dan ambil paspor lancar jaya. Namun sejujurnya saya juga gelisah kalau-kalau visa saya tidak di approve gegara menggunakan paspor 24 halaman. Saya cuma bisa berdoa dan yakin bahwa segalanya akan baik-baik saja. Hingga akhirnya tanggal 21 Juli 2015 kemarin pihak IND meloloskan permohonan visa saya dan pihak kedutaan Belanda di Jakarta pun sudah menerima MVV approval saya dan tinggal saya ambil. Luar biasa lega haha.

Jadi, selama paspor anda masih berlaku, halaman paspor masih cukup dan ada visa yang valid, anda bebas kemana saja :D Dan yang menjadi pertimbangan utama visa anda lolos adalah bukti yang menyatakan bahwa anda mempunyai dana yang cukup di negara orang, bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari hingga waktu kembali nanti. Pertimbangan tersebut berdasar pemikiran bahwa dengan demikian anda tidak akan jadi “gembel” di negara orang yang bisa menjadikan anda imigran ilegal.

Semoga bermanfaat!

Credit:
1.https://uzone.id/amp/paspor-hilang-di-negara-orang-harus-melakukan-apa?utm_source=amp_google&utm_medium=pages&utm_campaign=amp_pages_google_20180223
2. www.imigrasi.com

Friday, March 18, 2016

Dibalik Serunya Foto Perjalanan ke Belgia


Sudah tiga kali weekend saya habiskan untuk jalan-jalan di Belanda. Seorang kawan menawarkan untuk mencicipi negara seberang. Ya, Belgia. Kami berencana jalan bersama ke Belgia minggu depan bersama tiga orang lainnya yang belum saya kenal. Dia menawarkan tiket online seharga €8 pulang-pergi yang tentunya lebih murah daripada beli langsung. Namun saya tolak karena belum bisa memastikan apakah bisa pergi. Akhirnya kamis siang saya pastikan bahwa saya akan ikut dan memutuskan untuk membeli tiket on the spot. Telah di sepakati pula bahwa meeting point kami di Roosendaal pukul 9 pagi mengingat jadwal keberangkatan mereka sekitar pukul 9.42. Roosendaal merupakan sebuah kota diujung Belanda yang berada dekat dengan perbatasan Belgia. Dengan OV Chipkaart yang telah terdaftar berlangganan weekend vrij, secara otomatis bisa digunakan untuk bepergian dengan kereta secara gratis di seluruh Belanda, termasuk ke Roosendal, mulai setiap jumat malam hingga senin dini hari. Meeting point di Roosendal yang berbatasan dengan Belgia merupakan salah satu trik agar perjalanan antar negara lebih dekat sehingga biaya yang dikeluarkan pun lebih murah.
Jumat malam saya menumpang di rumah seorang kawan di kota tetangga, Alkmaar. Maklum, saya tinggal di Bergen, kota kecil dekat pantai di Belanda bagian Utara yang hanya dilewati bis setiap satu jam. Sementara saya harus berangkat menggunakan kereta sekitar pukul 6.30, dan bis paling pagi baru beroperasi pukul 7.30 di hari weekend.
Tibalah penantian itu. Pukul enam pagi saya pamit berangkat. Berjalan kaki di pagi buta yang sangat dingin bersamaan dengan suasana kota yang masih lengang menuju stasiun kereta api Alkmaar. Tak lama, hanya memakan waktu sepuluh menit. Oh ya, sebelumnya jadwal kereta api bisa dilihat secara online. Saya memilih jadwal paling pagi agar sampai di meeting point tepat waktu. Seperti yang terjadwal, saya akan berganti kereta sekali di Rotterdam. Sesampainya di stasiun Alkmaar, check in dilakukan dengan menge-tap OV Chipkaart di mesin yang tersedia di beberapa titik stasiun. Lalu berjalan menaiki tangga menuju spoor 1 dimana kereta saya akan berhenti. Setibanya kereta, saya dan para penumpang lain memasuki gerbong kereta. Kesialan pertama. Tetiba terdengar pengumuman berbahasa Belanda dari pengeras suara dalam kereta. Saya lantas panik melihat beberapa orang mulai mengangkat kaki keluar.
"What happen?" saya beranikan diri bertanya pada seseorang yang juga sama bingungnya.
"I don't know. Something’s wrong. We all need to change the train." balasnya.
Baiklah, pikir saya. Saya beranjak keluar dan luar biasa panik mengingat perjalanan dari Alkmaar menuju Roosendal tidak singkat. Setidaknya memakan waktu tiga jam. Dengan gelisah, saya cek ulang jadwal melalui HP. Sialnya, dari berbagai alternatif jadwal yang tertera, tidak ada satu pun yang bisa membawa saya ke Roosendal tepat waktu. Beruntungnya, saya tidak menerima tawaran tiket online dan memilih membeli on the spot sehingga meskipun terlambat, saya tidak rugi apapun. Bedanya, saya tidak bisa berangkat bersama mereka. Lalu sendirian? ke Belgia? Duh. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, segera saya putuskan mengambil kereta pukul 7. Kali ini saya akan berganti kereta dua kali di Amsterdam Sloterdijk dan di bandara Schipol, baru kemudian meluncur ke Roosendaal. Kesialan kedua. Sesampainya di Amsterdam Sloterdijk, kereta yang membawa saya ke bandara Schiphol terlambat tiba. Cemas kembali menghampiri. Saya berpikir, jika saya tetap mengambil kereta menuju Schipol, tentu saya akan ketinggalan kereta yang membawa saya ke Roosendal. Saya putuskan mengecek ulang jadwal, mencari alternatif lain yang lebih cepat, dan mengambil rute berbeda, dari Sloterdijk langsung menuju Roosendaal. Saya kabari mereka bahwa saya terlambat datang dan kami sepakat bertemu di Belgia. Oke, jadi saya akan ke Belgia sendirian, pikir saya cemas.
Perjalanan menuju Roosendaal yang cukup panjang saya habiskan dengan menikmati pemandangan melalui jendela kaca kereta. Seringkali terlihat hamparan ladang yang hijau asri. Ada kalanya melewati terowongan bawah tanah yang panjang sekali. Atau melalui jembatan yang berada diatas perairan tenang. Namun kesejukan itu digelisahkan dengan rasa nyeri di perut. Apa yang saya khawatirkan daritada terjadi juga. Kesialan ketiga. Tamu bulanan datang disaat yang benar-benar tidak tepat. Kesejukan menikmati pemandangan berubah jadi kegelisahan. Beruntung sekali saya memakai celana jeans hitam dan coat hitam panjang. Setiba di Roosendaal, saya berlari menuju counter tiket dan membeli tiket pulang-pergi Roosendaal-Belgia seharga €12. Lantas secepat kilat mencari toilet sebelum kereta berangkat. Seperti yang diduga, hari pertama dan tanpa membawa pembalut...argh! Pun tidak ada toko yang menjual di stasiun, mungkin karena hanya stasiun kecil. Tanpa pikir panjang, saya tarik tisu toilet yang cukup panjang untuk menahan selama sekitar satu jam perjalanan ke Belgia. Sedikit lega meski tetap tak nyaman.
Ini merupakan perjalanan saya ke Belgia dengan naik kereta berpenampilan tidak lebih bagus dari kereta milik Belanda. Gerbongnya sempit dan penuh orang. Saya berusaha mencari tempat duduk dan menemukan satu disebelah perempuan Asia dengan koper disebelahnya. Saat hendak mengabari kawan, sebuah SMS masuk. Sinyal hilang. Glek. Sadar bahwa kereta telah memasuki wilayah Belgia. Bingung tak bisa berkirim pesan karena fasilitas WiFi pun tak ada. Hanya bisa berdoa dan berharap menemukan WiFi di stasiun. Sesampai di stasiun, segera saya nyalakan WiFi. Muka berubah pucat pasi gegara tak ada sinyal WiFi yang nyantol. Arstitektur stasiun Antwerpen yang dikenal sangat menawan terlupa sudah. Terlebih, saya sempat kebingungan mencari pintu keluar karena luasnya stasiun. Apalagi bahasa yang terpampang di papan-papan petunjuk pun sudah berbeda. Melihat sekeliling dengan bingung, saya dapati segerombolan orang bergerak menaiki eskalator. Dengan lemas, saya ikuti mereka menaiki eskalator panjang dan begitu menanjak. Syukurlah, lobi luas nan indah berujung pintu utama nampak juga. Disitu pula saya menemukan sinyal WiFi. Panik hilang, bahagia pun datang.

Sehari di Belgia kami nikmati dengan menyusuri kota Antwerpen, kota terbesar kedua di Belgia setelah Brussels. Berjalan menuju Cathedral of Our Lady yang terkenal dan masuk dalam daftar situs warisan dunia. Bergerak lagi menuju Grote Markt yang dikelilingi oleh bangunan berarsitektur indah. Juga mengunjungi Steen Castle yang terletak di timur sungai Scheldt, sebuah istana dari batu pada era dimana rumah terbuat dari kayu. Tak kalah menarik, kami memasuki museum mode bernama MoMu Fashion yang berisi aneka ragam sepatu unik dan aneh. Sekembalinya ke stasiun, tak lupa jajan es krim seharga €2,50 per scoop. Kenapa bukan coklat ya? Hahaha.


Begitulah perjalanan saya ke Belgia yang mengesalkan sekaligus menggembirakan. Percayalah, serunya perjalanan bukanlah ketika tiba di tempat tujuan, tetapi proses mencapai tempat itu.